Tuhan Modern dan Kitab-Nya: Tentang Dokumen, Birokrasi, dan Imajinasi

Althaf Yusfid
20 min readJan 21, 2024
Sumber: BetaNews

Pengantar: Ritual Mengisi Dokumen

Pagi ini (8 Desember, 2023), saya disibukkan dengan satu hal: mengisi formulir peminjaman ruangan untuk kegiatan di kampus. Kemarin sore, saya disibukkan dengan hal yang sama. Saya, dan beberapa teman saya, “mondar-mandir” mencetak dokumen, meminta tanda tangan (kepala program studi, ketua himpunan, kemahasiswaan fakultas, dan ketua acara) hanya untuk kemudian sadar ada satu tanda tangan yang tidak bisa diisi pada hari itu dan harus menunggu hari esok. Esoknya (pagi yang saya rujuk pada awal tulisan), saya merasa berat hati datang ke kampus karena masih harus mengurus pengisian formulir peminjaman ruangan ini; saya tidak mau “mondar-mandir” seperti kemarin. Pagi-pagi, saya menghubungi teman saya, apakah kita jadi untuk mengajukan dokumen ini. Teman saya menjawab, “iya, jadi,” dan saya harus menunggu dengan cemas — menunggu dokumen ini dikirim setelah ditandatangani untuk saya cetak dan kemudian, diajukan ke pihak fakultas. Pusing, saya pikir, harus mengisi dokumen dan mengajukan dokumen tersebut kepada pihak yang seharusnya. Semua terasa seperti diputar-putar; saya harus kesana, saya harus kesini, saya harus menunggu; menunggu dokumen, meminta tanda tangan si A, B, dan C, lalu menghadap fakultas.

Perasaan ini, saya rasa, tidak hanya saya yang merasakan. Kebanyakan orang yang harus berinteraksi dengan birokrasi, saya pikir, merasakan hal yang lebih kurang sama. Sebagai ilustrasi lain, pertengahan tahun ini, ibu dan kakak saya berencana pergi ke Jepang. Untuk dapat pergi ke Jepang, tentu, mereka perlu mendapatkan visa. Untuk mendapatkan visa, mereka perlu berinteraksi dengan birokrasi kedutaan besar Jepang di Indonesia. Saya menyaksikan dinamika ibu dan kakak saya dalam mengisi berbagai macam formulir yang diperlukan. Satu hal yang paling saya ingat adalah perihal mengisi daftar kegiatan atau itinerary yang diwajibkan kedutaan Jepang. Kakak dan ibu saya “bertengkar” mengenai bagaimana mengisinya; kakak saya ingin mengisinya dengan betul — mengisi ia ingin kemana dan melakukan apa — sedangkan ibu saya bersikeras untuk mengisi daftar tersebut dengan menjiplak daftar yang ada di internet karena, menurutnya, daftar kegiatan ini hanyalah formalitas yang tidak akan benar-benar dicek apakah mereka, ketika di Jepang nanti, benar-benar datang ke kegiatan yang sudah mereka daftarkan sebelumnya. Masih banyak contoh lain, tentu — sebut saja, mahasiswa semester 5 yang, menjelang akhir semesternya, berkutat dengan surat-surat birokrasi untuk magang (dan berbagai macam kegiatan lain) yang akan dilakukan pada semester selanjutnya.

Hal yang lucu (dan menarik), kalau dipikir-pikir, bahwa perihal sebanal menulis formulir menjadi hal yang terlampau memusingkan dan menguras emosi. Toh, hanya mengisi nama dan perintilan lainnya, apa susahnya sebetulnya? Setidaknya tidak perlu menulis esai teoretis 50 halaman yang dibangun dengan membaca tulisan-tulisan akademis yang tidak pernah jelas apa yang sebetulnya ingin disampaikan. Meskipun menulis formulir birokrasi memang dapat dikatakan banal; memang dapat dikatakan mudah dan tidak memerlukan kemampuan berpikir yang kompleks, ia tetap mendatangkan beban yang tidak kalah berat dengan menulis esai teoretis 50 halaman. Memang, apa yang saya tulis adalah suatu hiperbola, tetapi, rasa bahwa dokumen-dokumen birokrasi menentukan apa yang akan terjadi pada hidup kita adalah perasaan yang nyata. Meminjam istilah yang digunakan oleh Hull (2008), kita hidup “ruled by records.” Dokumen-dokumen birokrasi ini seperti tidak ada habisnya — meskipun Presiden Jokowi, misal, marah berbusa-busa memerintahkan para menterinya untuk memangkas birokrasi (termasuk dokumen-dokumen tersebut), kita justru hidup dalam lebih banyak dokumen birokrasi, seperti formulir birokratik digital. Sebuah bentuk governmentality — mengatur dari jarak jauh dengan mekanisme regulasi, alih-alih disiplin, jika meminjam istilah Foucault (1991), dan membuat suatu permasalahan menjadi teknikal yang, dalam kasus ini, diwujudkan dalam bentuk dokumen (Li, 2007).

Namun, emosi yang dihasilkan oleh dokumen birokrasi ini adalah hal yang menarik. Ia membuat kita marah dan mengutuk birokrasi, tetapi, pada saat yang sama, membuat kita tidak dapat berbuat banyak. Mengeluh dan “marah-marah” menjadi (secara relatif) satu-satunya bentuk penolakan kita pada otoritas birokrasi yang ada. Alhasil, sedikit berbeda dengan argumen Nastiti dan Ratri (2018) bahwa emosi dapat memobilisasi kelompok, dalam kasus ini, emosi justru membuat “lumpuh” suatu kelompok — kelompok ini, atau kita, justru dibuat “tidak berdaya.” Akan tetapi, meskipun tidak berdaya, saya pikir agak kurang tepat jika dikatakan bahwa dominasi dokumen birokrasi adalah hanya disebut sebagai bentuk hegemoni atau wacana pengetahuan. Meskipun kebanyakan orang dibuat tidak dapat “bergerak” karena dokumen birokrasi, fakta bahwa mereka menyalurkan amarah mereka dengan satu cara atau cara yang lain, saya rasa tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Justru, amarah-amarah “kecil” ini, mengikuti Robbins (2013), perlu dilihat sebagai bentuk kehidupan tersendiri yang menandakan ketidaksetujuan — mengambil posisi berbeda (suatu kepolitisan [Wilson & Syngedouw, 2015]), meskipun tidak bergerak secara masif (Li, 2019).

Akibatnya, muncul pertanyaan dalam benak saya, ada apa sebetulnya dengan tulisan-tulisan atau dokumen-dokumen birokratik ini? Mengapa, hal sekecil tulisan dan menulis, membuat kita marah, lelah, bingung, dan berbagai macam perasaan negatif lainnya? Mengapa membaca dokumen birokrasi juga membuat kita bingung dan marah? Ada “kekuatan” apa sebenarnya, di balik hal sebanal tulisan yang meminta kita untuk menulis nama dan tanda tangan kita? Selain itu, dan tidak kalah penting, apa yang sebetulnya ditunjukkan oleh amarah-amarah “kecil” ini? Apa signifikansi dari emosi tersebut?

Tentang Dokumen dan Birokrasi

Birokrasi, seperti yang ditulis oleh Weber (2006) adalah suatu aparatus politik yang bekerja atas dasar aturan formal yang mengatur segala operasi yang ada di dalamnya. Aturan-aturan formal ini mengalokasikan berbagai macam tugas ke tempat-tempat yang ditentukan — ada semacam spesialisasi tugas dalam birokrasi. Untuk menghubungkan segala macam “pos-pos” tugas ini, dokumen menjadi hal yang krusial. Bagi Weber (2006), dokumen-dokumen ini adalah “biro” atau objek yang menjadi medium untuk penyediaan informasi. Dengan kata lain, kertas-kertas birokratik adalah medium penyedia fakta yang ada. Karena ia diasumsikan sebagai penyedia fakta, Weber (2006) membedakan antara kerja birokratik dengan kerja individual — kerja birokratik adalah kerja-kerja publik (fakta), sedangkan kerja-kerja yang individual bersifat privat (subjektif). Akibatnya, membaca dan berinteraksi dengan dokumen birokratik diasumsikan hanya sebagai bentuk menyalurkan dan menerima fakta atau informasi — tidak lebih, tidak kurang. Hal ini banyak terjadi di kehidupan kita sehari-hari; tidak perlu jauh-jauh mencarinya. Sebagai ilustrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Desember ini, tengah melakukan Pemilihan Raya (Pemira), atau pemilihan umum (pemilu) untuk memilih ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan ketua himpunan. Pemira dilaksanakan pada hari yang sama saya harus mengurus dokumen peminjaman ruangan; Jumat 8 Desember, 2023. Akan tetapi, bagaimana Pemira ini dilaksanakan terdapat berbagai masalah, terutama waktu dan tempat ia dilaksanakan. Beberapa orang, dari pengamatan saya, mengatakan bahwa Pemira dilaksanakan tanpa mematuhi aturan birokrasi yang ada. Yang dimaksud adalah panitia Pemira tidak menyediakan surat birokrasi untuk meminjam ruangan yang digunakan sebagai tempat untuk mencoblos. Fakta informasi tersebut tidak tersalurkan, dengan kata lain — menjadi suatu permasalahan karena aturan yang menjadi dasar birokrasi tidak dipatuhi dengan baik.

Memang, tidak ada yang spesial dengan hal ini. Tulisan dalam suatu dokumen memang berfungsi sebagai alat komunikasi, bukan? Namun, apakah benar bahwa tulisan dalam suatu dokumen hanya berfungsi sebagai replika dari suatu informasi? Jika memang betul demikian, mengapa kita “pusing tujuh keliling” ketika dihadapkan dengan suatu dokumen birokrasi? Jika tulisan dalam dokumen birokrasi memang bersifat dingin, mengapa ia membuat kita justru menjadi panas? Salah satu kelebihan dari suatu tulisan, memang, seperti ditulis oleh Robertson (2004), adalah kemampuannya mereplikasi suatu hal — tulisan dapat membekukan suatu fenomena. Berbeda dengan ujaran yang bersifat temporal, tulisan bersifat atemporal — seseorang tidak perlu bertumpu pada orang lain untuk mengujarkan suatu hal. Tulisan, dapat dikatakan, bersifat objektif karena ia dapat dilihat “di luar sana” — bersifat “ikonik” alih-alih “simbolis” (Robertson, 2004). Akan tetapi, tentu, kedua hal ini tidak untuk dilihat secara berlawanan — tulisan juga memiliki elemen temporal dan simbolis. Seperti yang ditulis oleh Levi-Stauss (1963), suatu tulisan kata tidak selalu memiliki hubungan langsung dan logis dengan objek yang diwakilkannya. Dengan kata lain, meminjam semiotika Peirce dan analisis agensi atas suatu objek, selalu ada ruang interpretasi bebas secara terbatas tentunya karena sang penulis juga “menanamkan” makna dalam tulisannya ketika kita membaca suatu teks atau dokumen (Parmentier, 1994; Chandler, 2017; Tanner & Osborne, 2007). Tulisan di atas kertas, alhasil, tidak selalu bersifat dingin — ada ruang arbitrer dan dinamika dalam tulisan.

Birokrasi, Irasionalitas, dan Amarah

Dinamika antara pembaca dan penulis ini merupakan hal yang menarik dalam dokumen birokratik. Meskipun kita dapat berbicara bahwa dokumen birokrasi tidak memiliki makna tunggal, birokrat tentunya akan bersikeras bahwa makna dari dokumen tersebut tunggal — lihat saja bagaimana para birokrat dan politisi acap menekankan komunikasi ketika menyampaikan sesuatu; seakan-akan, jika dikomunikasikan dengan benar, kita akan sepakat dengan satu makna tertentu. Perseteruan makna inilah yang membentuk rasa marah ketika kita berinteraksi dengan dokumen birokrasi. Hal ini karena, seperti yang ditulis oleh Hull (2012a), dokumen birokratik yang mengasumsikan memiliki makna tunggal, menyingkirkan hal-hal yang sifatnya personal dan subjektif; menyingkirkan interpretasi yang berbeda. Apa yang terjadi antara ibu dan kakak saya dapat menjadi ilustrasi; keduanya bertengkar mengenai apa makna dari itinerary yang ada, apakah formalitas atau hal yang memang perlu diperhatikan? Keduanya memiliki interpretasi masing-masing, tetapi dihadapkan dengan suatu narasi bahwa pasti ada satu makna tunggal sehingga mereka bertengkar dan marah karena mereka perlu mencari makna tunggal ini. Mahasiswa semester 5 yang tengah sibuk mengurus surat untuk magang juga dapat menjadi ilustrasi — apa saja yang perlu diisi (baca: diminta oleh birokrat yang bersangkutan) agar mereka dapat magang di semester berikutnya. Apabila Barthes (1977) menulis bahwa makna dari suatu teks berada pada tangan pembaca karena “matinya” penulis, yang terjadi justru sang penulis terus hidup dan menghantui para pembaca. Pertengkaran makna ini diperparah oleh sifat birokrasi itu sendiri; birokrasi acap diasumsikan sebagai entitas rasional (Weber, 2006) sehingga, secara normatif, ia seharusnya menghadirkan solusi yang baik terhadap suatu permasalahan. Namun, asumsi tersebut bertabrakan dengan bagaimana birokrasi sejatinya dipraktikkan — penuh dengan irasionalitas dan informalitas (Bierschenk & de Sardan, 2019). Alih-alih mahasiswa dapat dimudahkan untuk magang, ia justru disibukkan menulis dan membaca surat, meminta tanda tangan, serta meminta persetujuan dari lembaga kampus yang ada; diputar terus-menerus. Asumsi rasionalitas ini juga, saya pikir, terus menghantui kita dalam berinteraksi dengan birokrasi. Meskipun kita diputar-putar tanpa henti, kita masih berpikir bahwa yang bermasalah bukanlah birokrasinya itu sendiri, tetapi inefisiensi dan tidak optimalnya mekanisme birokrasi yang ada pada saat ini. Jika saya kembali kepada contoh Pemira sebelumnya, saya mendengar ada yang mengatakan “birokrasi di atas orang dalam” — menandakan, meskipun ada keluhan dan amarah atas birokrasi, kita tetap percaya pada birokrasi (Graeber, 2015).

“Tabrakan” antara asumsi rasional dengan praktik yang irasional dalam birokrasi menghasilkan hal yang menarik: rasa bodoh. Seperti apa yang Graeber (2015) tulis mengenai birokrasi; alih-alih membuat kita dapat berpikir secara rasional, birokrasi justru membuat kita merasa bodoh karena dipermainkan oleh birokrat-birokrat yang ada; birokrat yang diasumsikan rasional. Ketika saya ingin membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) 3 tahun lalu, ayah saya memberi tahu bahwa saya perlu meminta tanda tangan ketua RW sebagai bentuk persetujuan bahwa saya memang sudah waktunya memiliki KTP. Saya juga perlu menyiapkan berbagai macam dokumen lainnya, seperti akta kelahiran, kartu keluarga, dsb. Ketika saya datang ke kantor kelurahan untuk membuat KTP, saya diberi tahu bahwa waktu itu sedang tidak bisa membuat KTP (saya tidak diberi tahu mengapa) dan saya harus pergi ke kantor kelurahan lain. Saya datang ke kantor yang dirujuk dan menjelaskan bahwa saya dirujuk ke kantor ini untuk membuat KTP. Selesai mengambil foto, saya diberi tahu bahwa untuk memproses dokumen saya perlu melakukannya di kantor kelurahan pertama. Saya bingung pada waktu itu, tetapi tetap mengikuti arahan yang ada. Ketika saya kembali ke kantor kelurahan pertama, barulah saya dilayani untuk membuat KTP. Saya diputar-putar dari satu kantor ke kantor yang lain hanya untuk mengisi formulir identitas diri. Kegiatan sebanal menuliskan nama dan agama menjadi hal yang terlampau rumit. Kesal dan marah yang saya rasakan bukan main — saya berpikir kenapa pula harus diputar serumit ini hanya untuk mengisi formulir dan kenapa saya tidak bisa mengatakan (dan diikuti oleh) kepada para birokrat kelurahan untuk mempermudah alur yang rumit dan tidak diperlukan ini. Namun, para birokrat nampaknya memiliki pemahaman yang berbeda; dan pemahaman birokrat inilah yang menghantui saya sehingga saya tetap mengikuti prosedur yang ada. Lebih penting lagi, pemahaman birokrat ini juga yang membuat saya merasa bodoh karena untuk menuliskan nama saja saya dibuat merasa tidak mampu — saya dibuat merasa irasonal, sedangkan para birokrat adalah yang rasional.

Dokumen Birokrasi dan Nilai yang Dibawanya: Atau, Matinya Imajinasi

Mengapa birokrasi memiliki kekuatan yang dapat menghantui kita? Mengapa, ketika saya membuat KTP dan diperintah untuk pergi ke kantor kelurahan lain, saya tidak pulang saja, toh perintahnya tidak masuk akal? Graeber (2009) pernah menulis bahwa kita tengah hidup dalam dunia di mana semua hal di-birokratisasikan — semua hal memerlukan dokumen sebagai justifikasi dari suatu eksistensi atau tindakan, tetapi apa signifikansi dari dokumen-dokumen ini sebetulnya? Sharma dan Gupta (2006) menulis bahwa kehidupan sosial kita sehari-hari dipenuhi dengan “pertemuan” dengan negara (baca: pertemuan dengan birokrasi). Birokrat menjadi bentuk representasi tersendiri atas negara. Berpikir mengenai negara hampir otomatis berpikir mengenai birokrasi. Birokrasi seperti menjadi produk kultural tersendiri — selalu ada dalam imajinasi kita dan sulit membayangkan situasi di mana birokrasi tidak berdiri (Sharma & Gupta, 2006). Sudah tidak terhitung berapa kali saya mendengar orang mengatakan: kalau tidak ada birokrasi, bagaimana komunitas/kelompok/masyarakat kita dapat berjalan? Ketika saya berbicara, misal, bahwa BEM tidak diperlukan, respons yang saya dapatkan adalah BEM merupakan medium birokrasi untuk menjalankan atau membuat acara di fakultas yang tanpa eksistensinya, kegiatan mahasiswa tidak dapat berjalan. Teman saya pernah mengatakan, jika kita tidak memiliki surat dengan kop surat bertuliskan “Badan Eksekutif Mahasiswa,” kegiatan-kegiatan akan (hampir) mustahil dilaksanakan. Sebagai ilustrasi, mari kita teruskan logika teman saya ini. Saya selalu bingung, mengapa kegiatan sekecil diskusi mahasiswa perlu dilaksanakan oleh BEM? Narasi ini saya dengar oleh teman saya yang memang pengurus BEM; ia mengatakan bahwa BEM sejatinya dan seharusnya memiliki kemampuan untuk mengumpulkan seluruh mahasiswa di satu fakultas dalam kegiatan diskusi. Saya juga cukup sering membaca tulisan-tulisan reflektif teman-teman BEM yang mengeluh mengenai partisipasi dalam acara sosial-politik BEM; membawa mereka ke kesimpulan semangat diskusi sosial-politik di FISIP dapat dikatakan mati. Elemen formalitas dalam melihat suatu fenomena ini menarik; jika dikembalikan pada bagian “kop surat” sebelumnya, acara sosial-politik adalah acara yang sudah dilegitimasi melalui “kop surat” tersebut. Hal ini menarik karena, dalam pengamatan dan pengalaman saya, semangat diskusi di FISIP masih hidup. Beberapa kali saya “berdebat” dengan teman-teman saya, entah di kelas, entah di kantin, dan lokasi lainnya, mengenai politik, baik di kampus, maupun tingkat negara. Mediumnya pun bermacam-macam; ada yang melalui tulisan, obrolan langsung, dan lain sebagainya. Obsesi terhadap elemen formalitas ini, secara tidak langsung, membuat dokumen-dokumen seperti memiliki kekuatan mistis tersendiri yang menyebabkan kita “mengabdi” padanya.

Dokumen-dokumen seolah-olah menjadi “nilai” tersendiri. Mengikuti Turner (1984, 2008) dan Graeber (2001) dokumen birokratik mengobjektifikasikan dirinya sendiri — kita mengejar dokumen birokrasi, alih-alih mengejar orang-orang yang ingin kita tuju. Bagi birokrat, dokumen birokrasi adalah hal utama dan kegagalan menyediakan dokumen tersebut menjadi salah individu yang bersangkutan (Graeber, 2015). Alih-alih dokumen berfungsi sebagai penyedia fakta, ia justru menjadi “pemerintah” tersendiri (Hull, 2012b). Alhasil, dokumen menjadi hantu; kita menghabiskan energi kita mengurusi dokumen yang menggunung karena, jika tidak, kehidupan sosial kita dapat saja terancam, seperti tidak bisa mendapatkan KTP sehingga tidak bisa beraktivitas. Dokumen menjadi semacam simbol yang hadir dalam ritual guna menstabilkan kehidupan sosial yang ada (Turner, 1974). Dokumen menjadi nilai yang membuat sesuatu menjadi nyata (Graeber, 2013, 2015) — tanpa KTP misal, saya tidak akan dilihat sebagai seseorang yang nyata secara sosial dan legal. Tanpa kop surat BEM, suatu diskusi hanya dilihat sebagai “ngobrol.

Secara tidak langsung, dokumen birokrasi mematikan imajinasi manusia. Izinkan saya menjelaskannya dengan membandingkan dokumen birokrasi dengan tulisan tradisional, seperti aksara Bali. Hornbacher (2016) menuliskan bahwa aksara Bali tidak berfungsi sebagaimana alfabet digunakan — ia tidak digunakan untuk menyediakan fakta informasi, tetapi justru digunakan untuk berspekulasi. Maksudnya ialah, ketika seseorang menggunakan aksara Bali, seperti menulis cerita-cerita mengenai dewa-dewi, ia bukan mereplikasi apa yang ia dengar, tetapi justru menghasilkan atau memproduksi pengetahuan mengenai dewa-dewi tersebut. Apa yang terjadi, tulis Hornbacher (2016), ialah ketika menulis, penulis sedang “dirasuki” oleh dewa dan yang membaca sedang melihat firman dewa diproduksi. Hal yang memang bersifat ontologis karena adanya perbedaan asumsi ontologis mengenai realitas dan kebenaran (Holbraad, 2009), tetapi, yang ingin saya tekankan ialah bagaimana kegiatan tulis-membaca ini menghasilkan sesuatu yang tidak ada sebelumnya; sebuah imajinasi (Rohrer & Thompson, 2023). Nilai dari aksara ini tidak terletak pada tulisannya, tetapi pada praktik menulis dan membacanya (Hornbacher, 2016) — meminjam analisis Severi (2015), secara lebih abstrak, nilai dari aksara justru berada pada praksis, bukan konten dari aksara itu sendiri; praksis menghasilkan suatu eksistensi (imajinasi). Dalam tradisi tulis lain, Batak misalnya, penggunaan aksara dianggap sebagai “perwakilan” dari kehebatan Datu atau dukun/peramal tradisional Batak (Zollo, 2023). Alhasil, dapat dikatakan, nilainya berada pada konten dari aksara bukan dari praksis manusia yang menciptakannya — aksara menjadi semacam token of value tersendiri (Graeber, 2001), tidak hanya berperan sebagai “penyedia informasi.” Namun, meminjam analisis Turner (1984, 2008), aksara tersebut tidak menjadi “nilai” dalam artian menjadi suatu totalitas atau fetish karena, seperti yang disampaikan oleh Zollo (2023), tulisan Datu baru mendapatkan makna ketika ia ditempatkan dalam relasi dengan ritual — ia tidak mendefinisikan keseluruhan hidup masyarakat Batak (Turner, 2008). Berbeda dengan dokumen birokrasi yang nilainya justru terletak pada tulisan (konten) — tulisanlah yang membuat sesuatu menjadi ada, bukan praksis manusia. Dengan kata lain, tulisan dalam dokumen birokrasi menjadi suatu bentuk reifikasi tersendiri.

Kematian imajinasi (atau, lebih tepatnya, kematian praksis dalam menilai suatu fenomena) menghasilkan suatu hal yang menarik dan signifikan. Jika nilai sejatinya datang dari praksis manusia (Marx, 1981; Marx & Engels, 1998), bentuk “marah-marah” ketika berhadapan dengan dokumen birokrasi saya rasa menunjukkan dimensi dan signifikansi lain dari dokumen birokrasi. Betul, saya pikir, bahwa makna yang bertentangan menjadi pembentuk fenomena “marah-marah,” tetapi ada hal lain yang saya pikir lebih dalam: alienasi. Reifikasi dokumen birokrasi, secara bersamaan, juga menghadirkan alienasi: eksistensi kita tidak dilihat dari “siapa kita” atau “apa yang kita lakukan,” tetapi dari tulisan di atas kertas dokumen yang kita isi dan miliki (Graeber, 2015). Dokumen menjadi “fetish” dalam kehidupan kita sehari-hari — kita yang membangun dokumen-dokumen tersebut, tetapi dokumen tersebut justru mendapat tempat spesial tersendiri; seakan-akan objektif dan tidak dapat diganggu gugat (Graeber, 2005; Marx, 1981). Imajinasi memang tidak pernah berdiri sendiri; selalu dimediasi oleh kondisi sosio-kultural dan material yang ada (Rohrer & Thompson, 2023; Wilf, 2014). Namun, pada saat yang sama, imajinasi yang dimediasi itu menunjukkan keberagaman dalam praksis — praksis yang berbeda menghasilkan kultur yang berbeda dan praktik berinterkasi dengan objek yang berbeda pula (Severi, 2015). Yang membedakan birokrasi, dalam hemat saya, adalah hilangnya elemen keberagaman ini dalam praktik sehari-hari; adanya narasi “kunci” mengenai apa itu kehidupan sosial.

Izinkan saya menjelaskannya lebih lanjut. Birokrasi, seperti yang disampaikan di atas, diasumsikan sebagai alat rasional (bahkan Weber (2006) menuliskan bahwa birokrasi adalah alat paling rasional). Birokrasi juga sering disematkan sebagai tanda peradaban manusia; sejarah peradaban itu sendiri dimulai dari situs-situs seperti Mesopotamia dan Mesir Kuno di mana, secara kasar, tempat birokrasi dan dokumen birokrasi pertama kali berdiri (Cooper, 2004; Baines, 2004). Peradaban, tulis Wengrow (2018), sering diasumsikan sebagai bentuk kehidupan universal — bahwa mereka yang sudah mencapai peradaban, sudah mencapai bentuk kehidupan final yang universal. Pandangan evolusionistis ini, saya rasa, masih tertanam dalam birokrasi — segala hal memerlukan birokrasi, segala hal memerlukan dokumen sebagai justifikasi; kehidupan sosial membutuhkan formulir (Graeber, 2009).

Sebagai ilustrasi, ibu saya menyuruh saya untuk perpanjang paspor sebelum paspor saya kadaluarsa. Saya bertanya, kenapa saya harus perpanjang sebelum paspor kadaluarsa, memangnya kenapa kalau saya mengurus paspor setelah paspor saya kadaluarsa? Ibu saya menjawab, jika seperti itu, saya harus membuat ulang paspor, bukan perpanjang paspor. Saya tanya kembali, kenapa pula aturannya seperti itu? Bukannya nama saya sudah terdaftar sebagai pemegang paspor dan dapat diperpanjang begitu saja meskipun sudah kadaluarsa? Alih-alih menjawab pertanyaan saya, ibu saya justru marah kepada saya karena “memang begitu aturannya.” Aturannya, ternyata, tidak seperti demikian; bahwa bisa memperpanjang paspor yang sudah kadaluarsa. Namun demikian, ibu saya memang mengatakan bahwa jika paspor saya tidak cepat-cepat diperpanjang, akan sulit mengurusnya dan sulit nantinya ketika kami satu keluarga ingin ke luar negeri.

Ada benarnya karena mengurus paspor memang rumit dan banyak menunggu. Akan tetapi, pernyataan ibu saya ini menunjukkan hal yang menarik secara diskursif mengenai dokumen birokrasi. Secara implisit, pernyataan bahwa “sulit untuk berpergian ke luar negeri” menunjukkan bahwa eksistensi saya (dan yang memiliki paspor) sebagai penduduk dunia diwujudkan karena paspor — tanpa paspor, kita bukan penduduk dunia dan tidak berhak bermobilisasi di dunia. Dokumen paspor, dengan kata lain, menjadi “nyata” — menggantikan eksistensi seseorang. Selanjutnya, pernyataan “sulit mengurus” saya pikir menunjukkan sesuatu. Kerumitan tersebut menandakan bahwa saya (dan yang memiliki paspor) perlu “terlahir kembali” sebagai penduduk dunia dengan memperpanjang atau membuat paspor baru. Menjadi penduduk dunia, lagi-lagi, memerlukan dokumen. Pergerakan dan mobilitas manusia atau praksis manusia yang bergerak di dunia dari satu tempat ke tempat yang lain (Wengrow, 2018; der Walt, 2001; Rautiainen, 2001) digantikan dengan satu buku saku kecil berisikan stamp visa.

Mungkin saya agak melebih-lebihkan pernyataan ibu saya. Namun, saya kira hubungan paspor dan eksistensi ini dapat kita perdalam lebih jauh. Ambil saja krisis Rohingya yang ada di Aceh. Juwana (2023), dalam artikel opininya, menyebut bahwa orang-orang Rohingya masuk ke Indonesia secara ilegal karena tidak memiliki dokumen yang memadai (salah satunya paspor sebagai dokumen perjalanan yang sah). Apa yang dilakukan dan dirasakan oleh kelompok etnis Rohingya sebagai kelompok yang terdiskriminasi (bahkan tergenosida) tidak dianggap sebagai hal yang nyata; selama kelompok Rohingya tidak memiliki dokumen resmi, ia tidak ada dan tidak boleh ada di Indonesia.

Amarah yang ditunjukkan oleh orang-orang Rohingya, alhasil, menjadi masuk akal. Bagaimana tidak? Eksistensinya tergantikan oleh kertas yang sejatinya dapat dirobek dengan mudah. Alienasi yang dirasakan oleh kelompok etnis Rohingya bukan tanda “tidak bersyukur,” melainkan suatu tanda yang mendalam mengenai kondisi eksistensi manusia; bahwa praksis manusia yang beragam digantikan oleh narasi birokrasi yang “mengunci” kehidupan sosial.

Dokumen adalah Politik

Dokumen birokratik, dengan demikian, jauh dari kata rasional dan jauh dari kata netral. Dokumen birokratik adalah situs politik — ia adalah bentuk kontrol atas suatu kelompok dengan membuat kelompok “lumpuh” karena alienasi yang dibuatnya. Dokumen, di sini, bukan bersifat politis, tetapi adalah politik itu sendiri karena dokumen-dokumen birokratik yang dipublikasikan atau ditulis memiliki suatu agenda tertanam di dalamnya — dokumen adalah kontrol itu sendiri. Jika saya boleh mengapropriasi analisis Sahlins (2017) atas politik masyarakat non-modern; secara singkat, ia berargumen bahwa hal-hal bersifat religius adalah bentuk politik bagi masyarakat non-modern. Hal-hal yang bersifat religius ini, dapat dikatakan, diganti dengan dokumen yang tidak ada habisnya. Ia sudah menjadi nilai tersendiri yang membuat aktivitas kita dilakukan atas nama birokrasi, alih-alih atas nama yang kita definisikan sendiri. Nilai yang cukup “mengakar” dan mengalienasi ini sepertinya masih cukup sulit untuk diguncangkan. Kritik-kritik atas birokrasi, seperti gerakan “pasca-birokrasi,” secara paradoksikal, justru menghasilkan formalisasi birokratik lebih banyak lagi (Tomo, 2018; Torsteinsen, 2012). Alhasil, “marah-marah” sepertinya menjadi bentuk kritik atas birokrasi tersendiri yang tidak secara langsung menghasilkan birokrasi lebih banyak. Saya sebut bentuk kritik karena, seperti yang ditulis Robbins (2013), praktik kecil ini menunjukkan adanya kontestasi nilai secara mikro, tetapi tidak cukup kuat untuk mematahkan nilai birokrasi sebagai paramount value (meminjam istilah Dumont (1970) [Li, 2019]). Hal-hal mikro dan menyehari seperti formulir justru adalah bentuk politik yang sangat nyata dalam keseharian yang mengatur (Ballestero, 2019) dan juga dilawan. Dinamika antara imajinasi yang berbeda-beda, alih-alih dilawan melalui perdebatan besar, justru dilakukan melalui kertas dan situs formulir yang kita temukan dalam keseharian.

Penutup: Tuhan yang Modern

Dokumen birokrasi memang hal lucu dan menarik. Ia hanyalah sebatas kertas yang acap meminta nama dan alamat. Sekilas, ia seharusnya tidak membawa rasa pusing dan cemas — tetapi realitanya justru sebaliknya. Alih-alih ia hanya berperan sebagai medium penyedia informasi, dokumen birokrasi justru menjadi justifikasi eksistensi — ia sudah seperti “Tuhan” tersendiri. Memang, hal ini bukanlah hal baru; candaan seperti “jika tidak punya KTP, kita tidak ada” adalah candaan yang prevalen dan mudah dijumpai. Namun, menariknya saya pikir, candaan tersebut tidaklah sekadar candaan; ia menunjukkan kondisi eksistensi manusia dalam masyarakat birokratik. Birokrasi yang sudah menjadi nilai tersendiri — menjadi hal yang dianggap berharga dan mendorong kegiatan manusia — menyebabkan birokrasi tidak pernah habis; semakin kita mendorong pemotongan birokrasi, semakin banyak formulir yang harus kita isi. Layaknya seorang hamba yang harus “berkonsultasi” dengan Tuhannya ketika ada masalah, kita harus berkonsultasi dengan dokumen-dokumen birokratik bak kitab suci. Layaknya agama yang bersifat sakral dan perlu dilindungi (Durkheim, 1995; Douglas, 2003 [1966]), birokrasi juga dilihat dengan cara yang sama, tetapi dalam mekanisme yang inversif — yang sakral adalah hal yang menyehari, yang perlu dilindungi adalah hal yang banal, dan yang “mengotori” justru adalah hal-hal yang bersifat ideal — membayangkan masyarakat tanpa birokrasi acap disebut sebagai utopis secara pejoratif. Manusia yang membuat formulir tersebut, tetapi manusia seperti dibuat tidak berdaya untuk menuliskan ulang apa yang ia sudah tulis. Praksis dan imaji manusia dibuat mati.

Mungkin, ketika Bakunin menulis bahwa Tuhan harus disingkirkan karena ia mensubordinasikan manusia, ia tidak sedang berbicara mengenai Allah, Yesus, dewa-dewi, atau entitas supernatural lainnya. Mungkin, ketika Marx mengkritik agama sebagai bentuk kritik masyarakat, yang ia sasar bukanlah agama Kristiani yang prevalen pada eranya. Mungkin, yang menjadi sasaran selama ini adalah dokumen-dokumen birokratik yang sudah menjadi Tuhan mengekang; Tuhan yang tidak bisa ditulis ulang.

Referensi

Baines, J. (2004). The Earliest Egyptian Writing: Development, Context, Purpose. In S. D. Houston (Ed.), The First Writing: Script Invention as History and Process (pp. 150–189). Cambridge University Press.

Ballestero, A. (2019). A Future History of Water. Duke University Press.

Barthes, R. (1977). The Death of the Author. In S. Heath (Ed.), Image, Music, Text (pp. 142–148). Fontana Press.

Bierschenk, T., & de Sardan, J.-P. O. (2019). How to Study Bureaucracies Ethnographically? Critique of Anthropology, 0(0), 1–15.

Chandler, D. (2017). Semiotics: The Basics. Routledge.

Cooper, J. S. (2004). Babylonian Beginnings: The Origin of the Cuneiform Writing System in Comparative Perspective. In S. D. Houston (Ed.), The First Writing: Script Invention as History and Process (pp. 71–99). Cambridge University Press.

der Walt, L. v. (2001). Revolutionary Anarchism and the Anti-Globalization Movement. The Anarchist Library. Retrieved December 10, 2023, from https://theanarchistlibrary.org/library/lucien-van-der-walt-revolutionary-anarchism-and-the-anti-globalization-movement

Douglas, M. (2003 [1966]). Purity and Danger: An Analysis of Concepts of Pollution and Taboo. Routledge.

Dumont, L. (1970). Homo Hierarchicus: An Essay on the Caste System. University of Chicago Press.

Durkheim, E. (1995). Elementary Forms Of The Religious Life: Newly Translated By Karen E. Fields (K. E. Fields, Trans.). Free Press.

Foucault, M. (1991). Governmentality. In G. Burchell, C. Gordon, & P. Miller (Eds.), The Foucault Effect: Studies in Governmentality (pp. 87–104). University of Chicago Press.

Graeber, D. (2001). Toward an Anthropological Theory of Value: The False Coin of Our Own Dreams. Palgrave.

Graeber, D. (2005). Fetishism as Social Creativity: Or, Fetishes are Gods in the Process of Construction. Anthropological Theory, 5(4), 407–438.

Graeber, D. (2009). Neoliberalism: Or, The Bureaucratization of the World. In H. Gusterson & C. Besteman (Eds.), The Insecure American: How We Got Here and What We Should Do About It (pp. 79–96). University of California Press.

Graeber, D. (2013). It is Value that Brings Universes into Being. HAU: Journal of Ethnographic Theory, 3(2), 219–243.

Graeber, D. (2015). The Utopia of Rules: On Technology, Stupidity, and the Secret Joys of Bureaucracy. Melville House.

Holbraad, M. (2009). Ontography and Alterity: Defining Anthropological Truth. Social Analysis, 53(2), 80–93.

Hornbacher, A. (2016). The Body of Letters: Balinese Aksara as an Intersection between Script, Power and Knowledge. In R. Fox & A. Hornbacher (Eds.), The Materiality and Efficacy of Balinese Letters: Situating Scriptural Practices (pp. 70–99). Brill.

Hull, M. S. (2008). Ruled by Records: The Expropriation of Land and the Misappropriation of Lists in Islamabad. American Ethnologist, 35(4), 501–518.

Hull. M. S. (2012a). Document and Bureaucracy. Annual Reviews of Anthropology, 41, 251–267.

Hull, M. S. (2012b). Government of Paper: The Materiality of Bureaucracy in Urban Pakistan. University of California Press.

Juwana, H. (2023, December 7). Menyikapi Gelombang Pengungsi Etnis Rohingya. Kompas. Retrieved December 12, 2023, from https://www.kompas.id/baca/opini/2023/12/07/menyikapi-gelombang-pengungsi-etnis-rohingya

Levi-Strauss, C. (1963). Structural Anthropology. Basic Books.

Li, T. (2007). The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics. Duke University Press.

Li, T. (2019). Politics, Interrupted. Anthropological Theory, 19(1), 29–53.

Marx, K. (1981). Capital 1: A Critique of Political Economy. Penguin Classics.

Marx, K., & Engels, F. (1998). The German Ideology: Including Theses on Feuerbach and Introduction to The Critique of Political Economy. Prometheus Books.

Nastiti, A., & Ratri, S. (2018). Emotive Politics: Islamic Organization and Religious Mobilization in Indonesia. Contemporary Southeast Asia, 40(2), 196–221.

Parmentier, R. J. (1994). Signs in Society: Studies in Semiotic Anthropology. Indiana University Press.

Rautiainen, A. (2001). Time to Fight Back for the Globalization. The Anarchist Library. Retrieved December 10, 2023, from https://theanarchistlibrary.org/library/antti-rautiainen-time-to-fight-back-for-the-globalization

Robbins, J. (2013). Beyond the Suffering Subject: Toward an Anthropology of the Good. The Journal of the Royal Anthropological Institute, 19(3), 447–462.

Robertson, J. S. (2004). The Possibility and Actuality of Writing. In S. D. Houston (Ed.), The First Writing: Script Invention as History and Process (pp. 16–38). Cambridge University Press.

Rohrer, I., & Thompson, M. (2023). Imagination Theory: Anthropological Perspectives. Anthropological Theory, 23(2), 186–208.

Sahlins, M. (2017). The Original Political Society. HAU: Journal of Ethnographic Theory, 7(2), 91–128.

Severi, C. (2015). The Chimera Principle: An Anthropology of Memory and Imagination (J. Lloyd, Trans.). Hau Books.

Sharma, A., & Gupta, A. (2006). Introduction: Rethinking Theories of the State in an Age of Globalization. In The Anthropology of the State: A Reader (pp. 1–42). Wiley.

Tanner, J., & Osborne. R. (2007). Art’s Agency and Art History. Blackwell Publishing.

Tomo, A. (2018). Bureaucracy, Post-Bureaucracy, or Anarchism? Evidence from the Italian Public Administration. International Journal of Public Administration, 1–15.

Torsteinsen, H. (2012). Why does Post-Bureaucracy Lead to More Formalisation? Local Government Studies, 38(3), 321–344.

Turner, T. (1984). Production, Value, and Exploitation in Marx and in Non-Capitalist Systems of Social Production. [Tidak Dipublikasikan].

Turner, T. (2008). Marxian Value Theory: An Anthropological Perspective. Anthropological Theory, 8(1), 43–56.

Turner, V. W. (1974). Dramas, Fields, and Metaphors: Symbolic Action in Human Society. Cornell University Press.

Weber, M. (2006). Bureaucracy. In A. Sharma & A. Gupta (Eds.), The Anthropology of the State: A Reader (pp. 49–70). Wiley.

Wengrow, D. (2018). What Makes Civilization? The Ancient Near East and the Future of the West. Oxford University Press.

Wilf, E. (2014). Semiotic Dimensions of Creativity. Annual Review of Anthropology, 43, 397–412.

Wilson, J., & Swyngedouw, E. (Eds.). (2015). The Post-political and Its Discontents: Spaces of Depoliticisation, Spectres of Radical Politics. Edinburgh University Press.

Zollo, R. (2023). Kuliah: Pengenalan Budaya Naskah Batak [Presentasi PowerPoint]. Universitas Indonesia: Aksara dan Tradisi Tulis.

--

--

Althaf Yusfid

“One of the advantages of anthropology as a scholarly enterprise is that no one, including its practitioners, quite knows exactly what it is.” — Clifford Geertz