Sosial, Absurdisme, dan Kebahagiaan: Tentang The Stranger oleh Albert Camus

Althaf Yusfid
8 min readDec 24, 2023
Sumber: The Conversation

Maman died today. Or yesterday maybe, I don’t know”

Kutipan tersebut mungkin adalah salah satu kalimat paling terkenal dalam dunia sastra. Kutipan yang ditulis oleh Albert Camus sebagai pembuka dalam The Stranger langsung memperkenalkan kita kepada pusat pemikiran Camus: absurdisme; bahwa dunia ini absurd — ia tidak memiliki makna apa-apa dan usaha apapun yang kita lakukan untuk membuat dunia berbeda tidak akan ada pengaruh signifikan. Lihat saja reaksi dari Meursault — sang tokoh utama — menghadapi kematian ibunya. Ketika ibunya meninggal dunia, ia tidak menangis, ia tidak mencoba memikirkan waktu yang ia miliki dengan ibunya dulu, ia juga tidak mencoba menghabiskan waktu di depan kuburan ibunya. Yang ia pikirkan justru betapa panasnya cuaca hari itu dan cuaca itu membuatnya ingin tidur. Ia juga memikirkan ia merasa lapar dan ingin cepat-cepat makan.

Selain kematian ibunya, lihat bagaimana Meursault bereaksi atas lamaran menikah oleh pasangannya. Ketika ditanya apakah Meursault ingin menikah dengan Marie — pasangan Meursault — ia menjawab menikah ataupun tidak menikah tidak akan membawa perubahan apa-apa ke dalam hidupnya, tetapi ia tidak masalah jika harus menikah. Semuanya tidak masalah; everything doesn’t matter. Ingin sekeras apapun kita berusaha, kita semua akan mati pada akhirnya, dan itu adalah fakta yang harus kita terima. Namun, Camus juga tidak terjebak pada nihilisme — suatu ide bahwa hidup tidak memiliki makna. Pada akhir novelnya, ia menuliskan bahwa seseorang harus menerima fakta ketiadaan makna ini secara mendalam, dan ketika ia sudah menerima itu, barulah ia bisa memikirkan alternatif lain — barulah ketika kita mengeliminasi hal-hal yang tidak mungkin, kita bisa memikirkan hal-hal yang mungkin. Ketika Meursault berada di penjara dan menunggu hari penghakimannya — hari ia dihukum mati — karena pembunuhan, ia sudah menerima fakta bahwa permohonan bandingnya akan ditolak dan tidak ada kebebasan yang dapat ia nikmati. Barulah ketika ia sudah “nyaman” dengan fakta tersebut, ia mulai berpikir “liar”; bahwa ia menjalani hidup yang baik, bahwa ia sudah, sedang, dan akan tetap bahagia, bahwa jika ia memiliki kehidupan lain, ia ingin kehidupan dimana ia bisa mengingat kehidupan yang sedang ia jalani sekarang. Itulah absurdisme: sekeras apapun kita berusaha, dunia tidak akan berubah; ia akan sama sialnya; usaha mencari makna adalah usaha yang sia-sia, tetapi dengan menerima fakta ini — embracing the absurd jika meminjam istilah yang acap digunakan — barulah seseorang akan berdiri dengan kokoh dalam hidupnya; barulah seseorang dapat menciptakan maknanya sendiri, alih-alih perlu mencari makna. Itulah mengapa, di penghujung cerita, Meursault bertengkar dengan seorang pendeta — Meursault menolak bahwa hidupnya didefinisikan oleh seorang “Bapa” dan Tuhan yang ia tidak tahu dan tidak kenal; ia merasa bahwa hidupnya adalah miliknya yang ia bangun dengan menerima absurditas hidup. Singkatnya, apa yang ada di sekitar kita tidaklah penting secara objektif; yang penting adalah alasan dari adanya hal-hal sekitar kita tersebut. Seperti yang Camus pernah tulis dalam bukunya yang lain, The Myth of Sisyphus, pertanyaan paling mendasar dalam filsafat bukanlah aturan etika, sifat dasar dari realitas, atau bagaimana manusia dapat memiliki pengetahuan, melainkan “apa itu makna kehidupan?”. Bagi Camus, barulah ketika kita bisa menjawab pertanyaan ini, permasalahan filsafat lainnya mengikuti. Pertanyaan inilah yang memandu kehidupan kita sehari-hari. Jika dunia itu absurd, satu-satunya cara menghadapi dunia adalah dengan menjawab pertanyaan tersebut; is it worth the trouble? Apakah “rumah yang dijanjikan,” meminjam bahasa Camus, pantas untuk dikejar?

Mari sejenak keluar dari karya Camus dan menengok apa yang umum dipahami mengenai filsafat Camus. Absurdisme acap digambarkan sebagai sinonim dari nihilisme-optimistik; bahwa hidup atau dunia tidak memiliki makna adalah hal yang patut dirayakan karena dengan demikian, kita, sebagai individu, dapat dengan bebas memaknai kehidupan tanpa perlu patuh kepada otoritas pikiran. Itulah mengapa kita harus membayangkan Sisyphus berbahagia meskipun ia harus terus mendorong batu besar ke atas gunung lagi dan lagi tanpa henti sebagai bentuk hukumannya; kita perlu keluar dari kerangka yang mendikte bahwa kehidupan Sisyphus tidak bahagia dan nihil makna dan membayangkan bahwa Sisyphus berhasil menemukan kebahagiaan dan makna dalam hukumannya. Sebuah kerangka yang cukup individual. Tidak salah, bahkan Camus sendiri dalam The Myth of Sisyphus, membuka esainya dengan pertanyaan mengenai bunuh diri dan keluhan dia atas alasan-alasan sosial seseorang melakukan bunuh diri. Perlu saya garis bawahi, Camus sedang tidak menolak “tekanan sosial” yang menyebabkan orang mengakhiri hidupnya sendiri, melainkan ia sedang mencoba menjawab, dengan asumsi dasar absurditas, apakah absurditas dunia mengharuskan bunuh diri. Dalam The Stranger pun, ketika Meursault menerima fakta bahwa ia akan dihukum mati, ia mulai merasa bahagia karena ia paham bahwa, meskipun ia akan mati, ia telah menjalani hidup sebagaimana ia bayangkan dan inginkan — bahwa tidak ada yang berhak menangisi kematiannya (ataupun kematian ibunya dan kematian siapapun) karena orang yang mati tanpa membunuh dirinya, meskipun bagi Meursault tidak ada bedanya orang yang mati pada umur 20 tahun dengan yang mati pada umur 70 tahun, adalah orang yang sudah menjalani hidupnya sebaik mungkin. Hidup mungkin nihil, tetapi kita dapat optimis akan hidup ini. Tidak heran pembelajar ilmu sosial cukup “memusuhi” absurdisme ataupun eksistensialisme secara umum (mengingat absurdisme acap disebut sebagai bagian dari aliran eksistensialisme dalam filsafat) — variabel sosial seperti tidak ada dan tidak penting dalam kehidupan seseorang. Sekilas, pemahaman mengenai absurdisme seperti ini, jika dilihat dari kerangka ilmu sosial, seperti memberikan harapan palsu: bagaimana bisa seseorang yang hidup dalam kebejatan dan kesialan dunia menemukan makna? Bagaimana bisa seseorang yang melihat segala hal dalam hidupnya tidak penting, tiba-tiba merasa ia sudah, sedang, dan akan menghidupi kehidupan yang baik dan bahagia? Sekilas, pemahaman absurdisme tidak ada bedanya dengan buku-buku “self-help,” yang membedakan hanyalah tujuan; buku self-help yang cenderung berorientasi harta, sedangkan absurdisme berorientasi kepenuhan “spiritual.”

Tentu, tujuan dari Camus bukanlah demikian. Berbeda dengan buku-buku “self-help,” Camus tidak memberikan jalan keluar — bukunya bahkan cukup rumit untuk dibaca. Ia menawarkan suatu pemikiran, bukan suatu “tips dan trik.” Namun, saya merasa pertanyaan mengenai absurdisme dan sosial ini menarik; apakah betul absurdisme mensyaratkan refleksi “batiniah” tanpa konsiderasi apapun terhadap yang sosial seperti yang acap digambarkan? Apakah memilih untuk memberikan makna secara mandiri mensyaratkan hilangnya variabel sosial?

Dalam pengadilan atas pembunuhan yang ia lakukan, Meursault sempat bertanya kepada salah satu penjaga yang ada. Ia bertanya, mengapa pengacaranya menggunakan kata “saya” seakan-akan ia adalah Meursault , padahal ia, nyatanya, bukan Meursault . Meursault merasa “dihina” oleh pengacaranya dan sistem pengadilan secara umum. Ia berpikir “bukankah aku yang tersangkanya? Mengapa mereka tidak mendengarkan apa yang aku pikirkan sebagai tersangka?” Ia tidak suka eksistensinya dikerdilkan menjadi debu — Meursault adalah Meursault dan ia adalah dirinya sendiri yang berdiri dengan kaki sendiri. Penjaga tersebut hanya menjawab “semua pengacara memang seperti itu.” Sekilas, peristiwa ini menggambarkan bagaimana makna Meursault didiktekan oleh pengacara dan sistem pengadilan yang ada. Pengadilan tersebut banyak berbicara mengenai “jiwa” Meursault , tetapi tidak satu kata pun keluar dari mulut Meursault mengenai “jiwa”-nya sendiri. Camus, dalam The Myth of Sisyphus, menulis hal yang paralel; seseorang tidak akan pernah bisa mengenal orang lain secara menyeluruh karena orang lain akan terus mendefinisikan dirinya — kita hanya bisa mendekati (baca: mengenali secara personal) orang lain, dan terbatas mendekati orang lain dalam taraf praktis; dari apa yang ia lakukan dan kita lihat ia lakukan. Sekuat apapun rasa kita untuk mengetahui sesuatu dalam kondisi jelas, adalah hal yang mustahil untuk mencapai hal tersebut; waktu akan membawa kita kepada suatu akhir, tetapi waktu juga membawa kita kepada perubahan yang tidak bisa diprediksi — sebuah kontradiksi kehidupan sehari-hari menurut Camus.

Namun, dari mana sebetulnya seseorang dapat tahu apa makna hidupnya, meskipun ia buat sendiri? Dari mana Meursault tahu apa sebetulnya “jiwa” dirinya? Apakah penjelasan Meursault tentang “jiwa”-nya lebih benar daripada penjelasan yang diberikan oleh jaksa atau pengacara dalam pengadilan tersebut? Meursault tidak pernah memberi tahu kita apa makna hidupnya dan bagaimana ia mendapatkannya; ia mengasumsikan bahwa ia tahu apa makna hidupnya. Menjelang akhir cerita, ia mengatakan bahwa ia tahu, sepanjang hidupnya, bahwa hidupnya seperti ini dan terus seperti ini, dan ia menikmatinya. Akan tetapi, sepanjang cerita, Meursault banyak teringat oleh kenalan terdekatnya, seperti Marie, ibunya, Raymond (tetangga dan juga teman), Celeste (pemilik restoran langganannya), dan sebagainya. Pada satu waktu, ketika Meursault tengah bertengkar dengan pendeta, ia berpikir bahwa satu-satunya orang yang ia bayangkan ketika melihat tembok penjara adalah Marie. Dalam kesempatan lain, ia makan malam bersama dengan Raymond, membicarakan konflik Raymond dengan pasangannya; hal yang mendekatkan ia dengan Raymond dan membuat Meursault terkadang memikirkan Raymond saat ia dipenjara. Sebelum Meursault membunuh seorang Arab yang menyebabkan ia dihukum mati, ia justru menahan Raymond untuk melakukan hal yang sama, dan akhirnya melakukannya sendiri. Meskipun, menurut Meursault , alasan ia membunuh orang Arab tersebut adalah karena ia tidak bisa berpikir karena panasnya pantai, mengapa ia dapat bertemu dan berkonflik dengan orang Arab tersebut adalah karena Raymond yang berkonflik dengan orang Arab ini terlebih dahulu. Ketika Meursault datang mengunjungi pemakaman ibunya, ia tidak menangis karena, menurutnya, ia tidak memiliki memori signifikan dengan ibunya dan kematian ibunya tidak mengubah hidupnya sehari-hari. Akan tetapi, alasan mengapa ia dapat menerima hukumannya adalah karena ibunya — ia paham, belajar dari ibunya, bahwa dapat hidup sendiri sampai akhir adalah suatu kebanggaan. Meskipun Meursault adalah seseorang yang tidak banyak bicara dan menyendiri, kehidupannya sangat dipenuhi oleh pertalian sosial. Sejauh apapun ia mencoba membayangkan langit sebagai penghibur ketika ia dipenjara, ia tidak bisa kabur dari eksistensi Marie, Raymond, ibunya, dst. Bahkan, fakta bahwa ia mencoba melupakan orang-orang ini menunjukkan bahwa ikatan sosial yang mereka miliki sangatlah kuat.

Seseorang memang hanya bisa mendekati orang lain, tetapi, saya pikir, justru itulah tujuannya; upaya saling mendekati ini membentuk ikatan yang sulit diputus. Dunia tidak pernah kehabisan makna; dunia justru dipenuhi oleh makna, makna yang dibentuk oleh ikatan-ikatan ini. Alhasil, saya pikir, kita memahami absurdisme dari kerangka yang kurang tepat. Selama ini, dunia justru menjadi absurd karena variabel sosial, terutama ikatan sosial, dihapuskan atau setidaknya, tidak ditempatkan dalam posisi yang sentral. Ikatan-ikatan yang terlihat banal, dan hanya berisikan percakapan yang berbunyi “iya…” “iya…” dianggap hanya satu bagian kecil dari kehidupan dan tidak memiliki efek besar. Jika ikatan-ikatan ini kita tempatkan dalam posisi yang sentral, kita dapat melihat bahwa kehidupan Meursault tidaklah hampa; kehidupannya justru diisi oleh orang-orang yang peduli dan menjaga dirinya. Makna hidup Meursault — bahwa ia dapat menerima hukuman matinya, alhasil, bukanlah ia berhasil bertahan hidup secara mandiri, melainkan ia telah dijaga dan menjaga orang lain. Ia sudah mengambil bagian dan kewajiban sosialnya sehari-hari.

Meursault mungkin menganggap bahwa menikah tidak membawa makna apa-apa, tetapi bagaimana jika ia menikah? Bagaimana ia tahu bahwa menikah tidak akan membawa apa-apa? Alih-alih Meursault hidup dalam absurditas, dialah yang membawa absurditas itu — ia menolak suatu ikatan. Saya tidak berbicara bahwa seluruh absurditas adalah salah Meursault itu sendiri. Melainkan, absurditas adalah hal yang diproduksi, alih-alih ada secara a priori. Meursault menciptakan dan memutus absurditas dari tindakan-tindakan yang ia lakukan. Absurdisme tidak perlu dilihat sebagai kehampaan makna dan sebagai kerangka individualistis; ia justru adalah dinamika makna dan kerangka kolektif dalam menciptakan makna tersebut.

--

--

Althaf Yusfid

“One of the advantages of anthropology as a scholarly enterprise is that no one, including its practitioners, quite knows exactly what it is.” — Clifford Geertz