Siapa Bilang Kita Rasional?

Mungkin Kita sama Bodohnya dengan Mereka yang Kita Sebut Irasional

Althaf Yusfid
12 min readAug 16, 2023
Sumber: Scientific American

Yang Kita Temukan dalam Kehidupan Sehari-hari

Teman saya pernah bertanya, “mengapa orang Indonesia suka ‘hype’ sekali ketika ada penemuan yang sebetulnya ‘bodoh’, tapi terlihat spektakuler”? Ia merujuk pada ‘penemuan’ bahan bakar air. Ada beberapa berita yang melaporkan bahwa Aryanto Misel, seorang lulusan SMP, membuat alat yang dapat mengubah air menjadi bahan bakar untuk kendaraan (Syahroni, 2023). Syahroni (2023) lanjut melaporkan bahwa Misel diundang oleh pihak luar negeri untuk menunjukkan ‘inovasinya’. Dalam beberapa media sosial, seperti Twitter, terdapat beberapa komentar yang menyayangkan hal ini; bagi ‘netizen’ seharusnya Misel dapat mengembangkan ‘penemuannya’ di Indonesia — bahwa negara seharusnya mengapresiasi upaya Misel.

Teman saya mengatakan bahwa penemuan ini ‘bohong’ dalam artian bahwa air, memang, tidak bisa semudah itu dijadikan bahan bakar. Saya tidak mengerti bagaimana ‘penemuan’ ini bekerja (bukan bidang saya), tetapi, jika kita mengambil posisi yang diambil oleh teman saya ini (yang memang berlatar belakang pendidikan Teknik), saya pikir memang pertanyaan ia di awal tulisan ini dapat dipahami. Lantas, apa yang menjadi masalah di sini? Teman saya menanyakan pertanyaan tersebut di salah satu group chat. Dalam group chat tersebut, salah satu orang mengatakan bahwa “orang Indonesia masih suka dengan metafor mistis atau logika mistis (kisah hiperbolik dan irasional); hal yang diprediksi oleh Tan Malaka bertahun-tahun lalu”. Saya merasa ‘kurang nyaman’ dengan gagasan bahwa “orang Indonesia suka dengan perihal yang hiperbolik, bermetafor, dan irasional”. Namun, waktu itu, saya tidak terlalu memikirkannya karena saya terlalu ‘malas’ untuk meresponsnya.

Sampai kemudian, selang beberapa hari, saya sedang dalam perjalanan menuju kampus menggunakan ojek online. Dalam perjalanan itu, sopir saya bertanya kepada saya “kuliah di mana, mas?” saya jawab “di UI, mas”. Lalu, ia bertanya “oh, jurusan apa, mas?” kemudian saya jawab jujur “antropologi, mas”. Sebetulnya saya agak malas menjawab saya adalah mahasiswa antropologi karena nama ‘antropologi’ itu sendiri tidak terlalu dikenal sehingga saya harus menjelaskan apa itu antropologi. Benar saja, ia menanyakan hal tersebut. Saya sendiri, sebagai mahasiswa antropologi, sebetulnya juga tidak terlalu paham apa yang dipelajari dalam antropologi sehingga saya menjawab dengan jawaban umum “belajar budaya, mas”. Saya kira ia akan berhenti di situ (karena umumnya sopir ojek berhenti sampai pertanyaan tersebut), tetapi ia lanjut bertanya “oh budaya mas, budaya yang kayak gimana, mas?”. Saya bingung — konsep budaya sendiri dalam antropologi adalah hal yang ‘kontroversial’; tidak pernah ada konsensus mengenai konsep budaya. Oleh karena itu, saya menjawab, lagi, dengan jawaban umum “budaya secara umum aja sih, mas, kayak budaya Jawa, gitu-gitu.” Sopir saya melanjutkan “mulai dari mana, mas, budayanya?” saya menjawab “dari mana aja, mas” ia bertanya lagi “berarti sampai ke masa lalu gitu?” saya jawab “iya, mas”.

Sang sopir kemudian bertanya “mas percaya gak kalo peradaban manusia itu mulai dari Mesir?” Saya sendiri, tentu, tidak percaya karena secara arkeologis peradaban manusia lebih tua daripada Mesir, bahkan daripada Mesopotamia (Graeber dan Wengrow, 2021). Namun, karena saya tidak dalam ‘mood’ untuk mengadakan kuliah sejarah, saya jawab saja “enggak, mas, kebetulan saya belajar arkeologi juga dan di situ diajarin kalo peradaban manusia itu lebih tua daripada Mesir”. Sang sopir kemudian menyampaikan pendapatnya, “kalo menurut saya sih, mas, ide peradaban mulai di Mesir itu propaganda Barat aja. Saya suka baca-baca dan saya pernah baca kalo Atlantis itu sebenernya ada di Indonesia, loh mas. Tau Atlantis kan mas? Itu kan peradaban yang hilang yang dulu makmur banget. Makanya, sumber daya Indonesia itu melimpah banget, mas karena kita itu dulu Atlantis.” [1]

Tentu, saya tidak percaya dengan apa yang sopir saya katakan. Namun, saya teringat dengan pernyataan teman saya sebelumnya, saya berpikir “mungkin ini yang dimaksud dengan orang Indonesia suka perihal metaforis, hiperbolik, dan irasional”. Akan tetapi, saya lanjut berpikir, apa yang salah dengan pendapatnya? Saya tidak bertanya dalam hal apakah pendapatnya benar secara empiris, tetapi mengapa pernyataan seperti ini perlu dilihat secara ‘rendah’? Mengapa pendapat seperti sopir saya ini, sering kali, dilihat sebagai suatu bentuk ‘kebodohan’ secara ‘moral’? Atau, dan saya kira pertanyaan utamanya adalah, mengapa berpikir secara ‘saintifik’ perlu dilihat secara lebih ‘superior’? Mengapa tidak bisa dilihat secara hanya ‘berbeda’? Jika saya kembali kepada teman saya yang merujuk ke Tan Malaka sebelumnya, ia mengatakan “Well, perjalanan masyarakat indo masih panjang buat berpikir saintifik”. Implikasinya adalah berpikir saintifik adalah titik akhir dari moda berpikir manusia; inilah titik finish. Alhasil, saya pikir, ini bukan masalah apa yang benar-salah secara empiris saja, tetapi juga benar-salah secara ‘existence’ — bahwa ada tahap eksistensi yang lebih superior; tahap di mana manusia yang ‘super’ adalah mereka yang berpikir secara saintifik.

Irasionalitas dan ‘The Other’

Pernyataan teman saya sebelumnya bisa ditulis dengan cara lain. Apa yang ia katakan dapat dirangkum dengan pernyataan bahwa “budaya orang Indonesia adalah menyukai hal-hal yang hiperbolik dan irasional” — toh, budaya adalah hal-hal yang berkenaan dengan perilaku, bukan? Namun, pertanyaannya kemudian dari mana perilaku tersebut datang? Antropolog tidak pernah sepakat mengenai hal ini — salah studi klasik yang dilakukan oleh Kroeber dan Kluckhohn menemukan bahwa ada 150 definisi mengenai budaya (Borofsky, 1994); jika studi tersebut dilakukan pada pertengahan abad 20, bayangkan semakin rumitnya definisi budaya sekarang. Lantas, jika budaya tidak jelas posisi dan batasannya, atas dasar apa kita dapat menyebut bahwa orang Indonesia sangat suka dengan hal-hal yang hiperbolik dan irasional?

Saya ingin berfokus pada aspek ‘irasional’ karena sepertinya aspek inilah yang ditekankan oleh teman saya. Salah satu aspek lain yang juga ditekankan teman saya dalam perbincangan tersebut adalah berpikir saintifik. Alhasil, dapat dikatakan, irasional diposisikan secara berlawanan dengan sains; bahwa yang rasional adalah yang saintifik; teman saya juga mengatakan hal berikut, “Masyarakat Indonesia lebih suka kisah hiperbolik dan irasional dibandingkan yang rasional”. Akibatnya, terdapat pertanyaan baru, apa yang dimaksud dengan ‘yang rasional’?

Yang rasional dan yang irasional, dalam sejarah, sering kali merupakan perihal politik. Antropolog generasi awal, seperti Edward Tylor, menempatkan masyarakat Eropa sebagai ‘yang rasional’ karena perspektif saintifiknya (Moberg, 2018). Bagi antropolog seperti Tylor yang berpikir secara evolusionistik, sains adalah tahap akhir dari peradaban; Steward (1973) melihat bahwa antropolog generasi awal “force the data of all precivilized group of mankind, which include most of the primitive world, into the categories of ‘savagery’ and ‘barbarism’”. Alhasil, bagi antropolog evolusionis klasik, peradaban “thought of largely in terms of the Near East, the northern Mediterranean, and northern Europe” (Steward, 1973). Tentu, pandangan ‘rasis’ ini sudah ditinggalkan, baik oleh antropolog maupun oleh khalayak umum (dalam batas tertentu). Namun, meskipun sudah ‘tidak rasis’, nada diskriminatif yang terdapat dalam perspektif evolusi ini masih hidup dalam kehidupan kita sehari-hari. Yang teman saya tulis tersebut (“dibandingkan yang rasional”) menunjukkan (indexing) bahwa cara berpikir yang ‘tradisional’ ini lebih rendah daripada cara berpikir saintifik (Ahearn, 2017); dengan kata lain, diskriminatif.

Akibatnya, terdapat kesan bahwa ‘budaya saintifik’ adalah budaya yang ‘berbeda’ (baca: superior) dari ‘budaya non-saintifik’. Bahkan, beberapa orang melihat ‘budaya saintifik’ ini bukan sebagai budaya; bahwa mereka yang menerapkan cara berpikir saintifik adalah orang-orang yang sudah ‘lepas’ dari rantai budaya. Dengan demikian, saya sering mendengar pernyataan beberapa teman saya “mungkin karena budaya kali, ya”; mengindikasikan bahwa mereka sudah ‘tidak berbudaya’; sudah lepas dan tercerahkan. Mereka yang berbudaya, kemudian, dilihat sebagai pihak yang ‘berbeda’ atau ‘Other’ atau ‘alterity’.

Sains dan Imajinasi

Apa yang dimaksud dengan sains sehingga ia dilihat secara berbeda dengan ‘budaya’ yang ‘hiperbolik dan irasional’? Apa yang dimiliki sains sehingga ia dapat melihat cara berpikir ‘hiperbolik’ sebagai hal yang ‘berbeda’ dan ‘rendah’? Sains, dalam kehidupan sehari-hari, sering kali dilihat sebagai hal yang ‘berdiri sendiri’; memiliki ‘teritori sendiri’ — seperti yang ditulis oleh Latour (1993)

“But the analysts, thinkers, journalists, and decision-makers will slice the delicate network traced by the virus for you into tidy compartments where you will find only science, only economy, only social phenomena, only local news, only sentiment, only sex”.

Dengan kata lain, sains menjadi ‘kategori’ spesial yang terlepas dari ‘budaya’. Latour (1987) menjelaskan bahwa sains sudah menjadi ‘black box’ atau hal yang ‘kotak hitam’ yang ‘dilarang’ untuk dibuka. Jika dibuka, kotak itu akan berisikan proses rumit dan ‘berantakan’ yang membentuk sains itu sendiri. Bagi Latour (1979; 1987), apa yang akan mendapat ‘status saintifik’ ditentukan melalui proses rumit yang melibatkan aspek-aspek non-saintifik, seperti agensi objek dan kegiatan banal (Latour, 2005). Akibatnya, ketika sains sudah menjadi ‘black box’ dan meninggalkan aspek-aspek non-saintifik yang ikut membentuknya, ia melahirkan wacana tersendiri yang melegitimasi dirinya sendiri; sains membentuk ‘aturannya’ sendiri yang berbeda dari, misal, ekonomi, politik, sosial, dan budaya (Lyotard, 1979) — ia membedakan dirinya sendiri sehingga budaya dapat dilihat sebagai ‘the Other’. Wacana inilah yang, sebetulnya, digunakan oleh teman saya ketika berbicara bahwa “masyarakat Indonesia masih dalam jalan yang panjang agar berpikir secara saintifik”; bahwa sains adalah suatu ‘ranah’ yang berbeda yang memiliki aturan yang berbeda dengan budaya.

Akan tetapi, jika kita membuka ‘kotak hitam’ itu dan melihat apa yang disebut Latour (1987) sebagai ‘science in the making’; melihat proses rumit yang melibatkan pihak non-saintifik dalam konstruksinya, kita dapat melihat bagaimana sains dan non-sains saling terlibat. Latour (1993) menulis ini secara retoris, “In the eyes of our critics the ozone hole above our heads, the moral law in our hearts, the autonomous text, may each be of interest, but only separately.” Namun, jikalau sains memang memerlukan ‘non-sains’ agar dapat ‘hidup’, bukankah ia tetap berbeda dengan budaya yang ‘hiperbolik dan irasional’? Bukankah mereka hanya ‘saling berinteraksi’? Lagi pula, membedakan antara sains dan non-sains berarti memang sepakat bahwa sains memiliki ranahnya sendiri.

Memang benar, dan tujuan saya di sini juga bukanlah ‘menginjak-injak’ sains, melainkan mempertanyakan posisinya berdasarkan pengalaman pribadi saya. Titik permasalahannya bukanlah mengenai sains ternyata selalu terikat dengan non-sains, tetapi suatu ‘mitos’ bahwa sains adalah cara berpikir yang ‘rasional’ dan ‘paling utama’. Sains memang memiliki kegunaan yang penting, tetapi seperti yang ditulis oleh Lynteris (2018) dan Bourdieu (2014), objek yang ingin diketahui oleh sains tidak pernah terlepas dari persepsi pengamatnya. Jika saya boleh menggunakan bahasa Kantian, sains adalah bagian dari fenomena, dan tidak mencapai noumena. Bhaskar (2008) melanjutkan filsafat Kant ini dengan berargumen bahwa apa yang ‘dikatakan’ oleh sains tidak pernah mencapai ‘realitas itu sendiri’, melainkan sains adalah “an ongoing social activity in a continuing process of transformation.” Graeber (2001; 2015) melanjutkan filsafat Bhaskar dengan berargumen bahwa realitas adalah hal yang memang tidak bisa diketahui sepenuhnya dan apa yang kita ketahui secara ‘pasti’ adalah hal yang ‘non-riil’. Implikasinya adalah, hal yang dapat kita ketahui secara pasti adalah imajinasi kita (Graeber, 2001). Akibatnya, sains tidak bisa memberikan deskripsi ‘penuh’ atau ‘akurat’ terhadap suatu objek atau fenomena; bukan berarti bahwa sains tidak pernah berprogres, melainkan bahwa sains hanya dapat memberikan deskripsi yang benar secara parsial dan dalam ‘level’ tertentu (Graeber, 2001; Bhaskar, 2008).

Budaya, menurut Graeber (2013) dan bersamaan dengan Wengrow (2021), merupakan suatu upaya kreatif untuk membedakan suatu kelompok dengan kelompok lain. Namun, Graeber (2013) melanjutkan bahwa ‘upaya kreatif’ ini bukan hanya ‘masalah identitas’, tetapi juga merupakan ‘pendorong sejarah manusia’. Dengan kata lain, bagi Graeber, sejarah manusia merupakan satu perdebatan besar — sejarah (budaya) manusia adalah upaya saling menolak dan saling sepakat dengan ide yang dimiliki oleh ‘lawan bicara’. Implikasinya ialah budaya juga tidak pernah ‘selesai’ — ia selalu hidup dalam suatu perdebatan yang dinamis (Graeber dan Wengrow, 2021). Meminjam ide dari Mauss (1985), budaya adalah hal yang selalu disempurnakan, tetapi juga parsial. Namun, apa yang membuatnya mirip dengan sains? Jika noumena adalah ranah yang tidak dapat dicapai dengan pasti oleh manusia, budaya dengan segala metaforanya sejatinya adalah upaya untuk memahami noumena — dengan cara yang berbeda (Harman, 2018). Selain itu, sifat sains yang open-ended sama halnya dengan budaya yang selalu diperdebatkan, baik oleh orang yang “memiliki” budaya tersebut, maupun yang tidak. Dengan demikian, sains dan budaya tidaklah terlalu berbeda. Mereka berdua sama-sama suatu imajinasi mengenai ‘realitas yang sebenarnya’. Sains dan budaya sama-sama diketahui secara pasti — kita memahami seluk-beluknya dan kita, dapat dikatakan, ‘mengontrol’ keduanya. Singkatnya, sains dan budaya bukanlah ‘realita itu sendiri’. Mereka berdua adalah aktivitas manusia yang ‘nyata’ yang melahirkan ‘nilai’ tersendiri — nilai yang menunjukkan apa yang penting bagi ‘eksistensi’ orang-orang yang terlibat; inilah yang ditulis oleh Marx (1981) mengenai nilai,

“If we leave aside the determinate quality of productive activity, and therefore the useful character of labor, what remains is its quality of being an expenditure of human labor-power […] The value of a commodity represents human labor pure and simple.”

Komoditas di sini dapat kita definisikan ulang; Marx (1981) menulis bahwa komoditas adalah ‘sumber kekayaan’, tetapi apa yang dimaksud dengan ‘kekayaan’ akan berbeda-beda; tidak semua formasi sosial melihat ‘produk’ sebagai bentuk kekayaan — bahwa tidak semua bentuk kerja adalah yang ‘memproduksi sesuatu’; kerja, atau tepatnya tenaga kerja (labor) adalah segala bentuk aktivitas kreatif manusia (Graeber, 2001). ‘Kekayaan’ tidak perlu dilihat sebagai ‘uang’ atau ‘produk’, melainkan bentuk kreatif yang variatif (Graeber, 2004; Holbraad, 2018). Dengan demikian, totemisme di Madagascar, animisme di Amazon, dan animisme di Inuit merupakan aktivitas yang ‘tidak pernah selesai’; orang Madagascar, Amazon, dan Inuit selalu ‘berdebat’ mengenai totem dan hal-hal animistik dalam kehidupan mereka (Graeber, 2015; Kohn, 2015; Ingold, 2006). Mereka adalah apa yang Ingold (2006) sebut sebagai entitas yang ‘terbuka’ terhadap dunia; mereka adalah upaya untuk memahami apa yang riil, ‘in-themselves’ yang tidak pernah mencapai ‘gambaran’ penuh, tetapi memerlukan kreativitas yang ‘nyata’ (Graeber, 2001), suatu ‘aesthetic labor’ atau upaya membangun suatu ‘konsep’ yang rumit untuk hidup sehari-hari (Wengrow, 2001).

(i)Rasional

Jika sains dan budaya bukanlah dua hal yang berbeda secara ‘radikal’, melainkan dua bentuk imajinasi yang berbeda, dan jika budaya masih tetap ingin dikatakan sebagai hal yang irasional, maka kita semua — subjek ‘modern’ dan ‘tercerahkan’ oleh sains — juga adalah entitas yang irasional. Kita semua, yang (digadang) merupakan subjek yang berpikir secara saintifik, sama-sama mengarungi ‘dunia yang sama’ dan berusaha mencapai hal yang sama; memahami, sebaik mungkin, dunia yang kita tinggali bersama ini. Budaya, dengan segala metafora dan hiperbola yang dimilikinya, sejatinya adalah ‘teori’ lokal yang memerlukan justifikasi yang rumit pula (Viveiros de Castro, 2009). Budaya tersebut tidak ‘dimiliki’, tetapi dipertanyakan dan diperdebatkan — layaknya Socrates yang tidak pernah mengaku ia ‘memiliki pengetahuan’ atau ‘memiliki kebenaran’, melainkan hanya bertanya (Graham, 2018). Dengan demikian, seperti yang ditulis oleh Holbraad (2009) bahwa hal yang tidak kita pahami atau terlihat ‘aneh’ justru adalah hal yang menarik; ia tidaklah ‘salah’, melainkan menunjukkan imaji yang berbeda dan memiliki ‘ceritanya’ sendiri. Akan tetapi, apakah ini berarti kita akan terjebak dalam pengetahuan yang relatif? Apakah kita akan terjebak pada ungkapan “kembali ke pribadi masing-masing”? Tentu tidak, imaji yang berbeda tersebut justru siap untuk ditantang, untuk dipertanyakan.

Jika budaya tidak pernah ada dalam isolasi (Boas, 1937), ia, berarti, merupakan hasil dari perdebatan panjang yang siap untuk didebat kembali. Namun, satu hal yang pasti, ia sama rasionalnya dengan sains.

Catatan

[1] Segala percakapan yang saya tulis di sini merupakan parafrase rekonstruksi apa yang terjadi karena semua ini terjadi bukan dalam rangka penelitian yang rapi.

Referensi

Ahearn, L. M. (2017). Living Language: An Introduction to Linguistic Anthropology. Wiley-Blackwell.

Bhaskar, R. (2008). A Realist Theory of Science. Routledge.

Boas, F. (1937). The Diffusion of Cultural Traits. Social Research: An International Quarterly, 82(1), 177–186. https://doi.org/10.1353/sor.2015.0001

Borofsky, R. (1994). Assessing Cultural Anthropology. Mcgraw-Hill.

Bourdieu, P. (2014). Participant Objectivation. In H. L. Moore & T. Sanders (Eds.), Anthropology in Theory: Issues in Epistemology (pp. 556–560). John Wiley & Sons.

Graeber, D. (2001). Toward an Anthropological Theory of Value: The False Coin of Our own Dreams. Palgrave.

Graeber, D. (2004). Fragments of Anarchist Anthropology. The University of Chicago Press.

Graeber, D. (2013). Culture as Creative Refusal. The Cambridge Journal of Anthropology, 31(2), 1–19. https://doi.org/10.3167/ca.2013.310201

Graeber, D. (2015). Radical Alterity Is Just Another Way of Saying “Reality.” HAU: Journal of Ethnographic Theory, 5(2), 1–41. https://doi.org/10.14318/hau5.2.003

Graeber, D., & Wengrow, D. (2021). The Dawn of Everything: A New History of Humanity. New York Farrar, Straus and Giroux.

Harman, G. (2018). Object-Oriented Ontology: A New Theory of Everything. Penguin UK.

Holbraad, M. (2009). Ontography and Alterity: Defining Anthropological Truth. Social Analysis, 53(2). https://doi.org/10.3167/sa.2009.530205

Holbraad, M. (2018). The Ontological Turn: An Anthropological Exposition. Cambridge University Press.

Ingold, T. (2006). Rethinking The Animate, Reanimating Thought. Ethnos: Journal of Anthropology, 71(1), 9–20.

Kohn, E. (2015). Anthropology of Ontologies. Annual Review of Anthropology, 44(311), 11–27.

Latour, B. (1987). Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society. Harvard Univ. Press.

Latour, B. (1993). We Have Never Been Modern. Harvard University Press.

Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-network-theory. Oxford University Press.

Latour, B., & Woolgar, S. (1979). Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts. Princeton University Press, [Post], Cop.

Lynteris, C. (2018). The Frankfurt School, Critical Theory, and Anthropology. In M. Candea (Ed.), Schools and Styles of Anthropological Theory. (pp. 159–172). Taylor And Francis.

Lyotard, J.-F. (1979). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis, Minn. Univ. Of Minnesota Press.

Marx, K. (1981). Capital: A Critique of Political Economy (Vol. 1). Penguin In Association with New Left Review. (Original work published 1867)

Mauss, M. (1985). A Category of the Human Mind; The Notion of Person; The Notion of Self. In M. Carrithers, S. Collins, & S. Lukes (Eds.), The Category of the Person: Anthropology, Philosophy, History (pp. 1–25). Cambridge University Press.

Moberg, M. (2018). Engaging Anthropological Theory: A Social and Political History. Routledge.

Steward, J. H. (1976). Theory of Culture Change: The Methodology of Multilinear Evolution. Univ. Of Illinois Press.

Syahroni, O. (2023, July 16). Aryanto Misel, Lulusan SMP yang Bikin Pengubah Air Jadi Bahan Bakar. Detikjabar. https://www.detik.com/jabar/berita/d-6824574/aryanto-misel-lulusan-smp-yang-bikin-pengubah-air-jadi-bahan-bakar

Viveiros de Castro, E. (2009). Cannibal Metaphysics. Univocal Publishing Llc.

Wengrow, D. (2001). The Evolution of Simplicity: Aesthetic Labor and Social Change in the Neolithic Near East. World Archeology 33(2), 168–188.

--

--

Althaf Yusfid

“One of the advantages of anthropology as a scholarly enterprise is that no one, including its practitioners, quite knows exactly what it is.” — Clifford Geertz