Merdeka Belajar, Sebuah Kesempatan untuk Pendidikan Indonesia yang Inklusif dan Juga Kontekstual

Althaf Yusfid
14 min readMay 11, 2022

Oleh: Muhammad Althaf Nandiati Yusfid

Dari: Kota Depok

Hari Pendidikan Nasional, sumber: Pikiran Rakyat

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Mari, berefleksi sejenak.

Bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia saat ini? Ideal, cukup, kurang, gawat, atau bagaimana?

Apapun jawaban yang ada di benak para pembaca, saya kira kita semua bisa sepakat bahwa memperjuangkan kondisi pendidikan agar tetap berprogres, apapun kondisinya pada saat ini, merupakan hal yang seyogyanya dilakukan. Mengapa demikian? Pendidikan merupakan hal yang berharga bagi setiap orang. Mungkin berbeda orang akan memiliki makna pendidikan yang berbeda pula. Meskipun demikian, itupun tetaplah pendidikan.

Sudah lebih kurang 63 tahun sejak pemerintah menetapkan 2 Mei sebagai tanggal untuk Hari Pendidikan Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 316 Tahun 1959. Tanggal 2 Mei dipilih karena tanggal tersebut merupakan tanggal kelahiran salah satu tokoh pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hadjar Dewantara. Akan tetapi, pendidikan seperti apa yang dibayangkan oleh beliau? Febriyanti (2021) menjelaskan bahwa sejatinya Ki Hadjar Dewantara membayangkan pendidikan yang membebaskan manusia, baik secara jasmani maupun rohani. Suparlan (2015) juga ikut menambahkan bahwa Ki Hadjar Dewantara melihat pendidikan sepatutnya membawa kemerdekaan berpikir bagi siapapun yang berpartisipasi dalam pendidikan.

Dengan kata lain, pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan yang progresif, selalu membawa perubahan yang baik untuk individu dan juga untuk masyarakat secara keseluruhan. Lantas, pertanyaannya ialah, dalam hari raya yang dilandaskan oleh tanggal lahirnya dan juga karena pemikirannya, sudahkah pendidikan Indonesia merefleksikan hal yang demikian?

Ki Hadjar Dewantara, sumber: Tirto

Mendengar slogan yang diutarakan oleh para pemimpin negeri, saya rasa pendidikan Indonesia belum merefleksikan apa yang dibayangkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia. Slogan yang bernada “kita harus mengejar ketertinggalan” ketika membicarakan pendidikan menyatakan bahwa pendidikan Indonesia, sesuai dengan kata yang tertera dalam slogan tersebut, tertinggal. Pertanyaannya ialah apa yang harus dilakukan?

Pemerintah menjawab pertanyaan tersebut melalui salah satu program yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-ristek), yaitu Merdeka Belajar. Kemendikbud-ristek (2020) menjelaskan bahwa program Merdeka Belajar ini diluncurkan guna meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Akan tetapi, apakah cukup?

Merdeka Belajar tentunya ditujukan untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Alhasil, Merdeka Belajar mengharapkan terbentuknya pemerataan pendidikan. Dengan kata lain, program ini mengharapkan terbentuknya pendidikan yang inklusif. Sesuai dengan makna katanya, pendidikan yang inklusif menempatkan pendidikan pada posisi yang terbuka dan universal sehingga semua orang dalam suatu masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menerima pendidikan.

Akan tetapi, pendidikan yang inklusif harus dilaksanakan dengan hati-hati. Sejatinya, jika pendidikan inklusif dimaknai sebagai pendidikan dimana setiap orang dapat menerima pendidikan yang sama — hak dan kesempatan yang sama — pendidikan di Indonesia sudah memenuhi kriteria tersebut melalui konstitusi, tepatnya pembukaan konstitusi, yaitu kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 Ayat 1, yaitu “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Namun, jika memang demikian adanya, mengapa banyak usaha untuk terus meningkatkan pendidikan yang inklusif? Saya rasa peluncuran program Merdeka Belajar ini dapat menjadi momen bagi kita semua untuk berefleksi mengenai pendidikan yang inklusif.

Sumber: FK ULM

Pendidikan inklusif cenderung diselimuti dengan topik perihal akses dan fasilitas. Dialog mengenai akses internet, akses buku, fasilitas gedung dan perpustakaan, serta fasilitas umum seperti jalan dan jembatan merupakan topik-topik yang acap kali muncul ketika membicarakan pendidikan yang inklusif. Meskipun saya paham betul akan urgensi mengenai masalah-masalah tersebut, saya kira ada hal yang hilang atau absen dalam topik pendidikan inklusif. Saya kira hal yang absen dalam topik pendidikan inklusif adalah pembicaraan mengenai manfaat dari pendidikan itu sendiri.

Apakah semua orang sudah merasakan atau mendapatkan manfaat dari pendidikan?

Pembicaraan yang menyelimuti topik pendidikan inklusif sebelumnya sering kali diasumsikan sudah termasuk mengenai masalah manfaat.

Akan tetapi, akses dan fasilitas berbeda dengan manfaat pendidikan. Manfaat pendidikan merupakan hal yang lebih abstrak — berurusan dengan kebutuhan peserta didik. Pembicaraan mengenai akses dan fasilitas tanpa diikuti dengan manfaat pendidikan hanya akan melahirkan kontestasi kelas (Latif, 2020). Hal ini disebabkan oleh akses dan fasilitas yang sama, tanpa perhatian terhadap kebutuhan yang berbeda, menyebabkan adanya “peraduan” antarkelas. Menerapkan perspektif konflik sosial, akses dan fasilitas dalam pendidikan tentunya akan mengacu terhadap kelas yang memegang “kuasa” (Macionis, 2017). Bourdieu pun menyampaikan hal yang senada bahwa pendidikan merupakan hal yang “elit” dimana ia membantu budaya “elit” menjadi apa yang dianggap penting untuk semua (Unser, 2022). Misal, internet memang kebutuhan penting, tetapi beda kelas sosial akan memiliki intensitas kebutuhan akan internet yang berbeda pula. Pendeknya, diskursus mengenai akses dan fasilitas, yang tanpa memperhatikan perbedaan akan kebutuhan, sejatinya merupakan diskursus yang sepihak atau satu arah.

Akan tetapi, Bourdieu tidak berhenti hanya pada akses dan fasilitas, tetapi juga substansi dalam pendidikan. Unser (2022) menjelaskan bahwa, bagi Bourdieu, pendidikan memiliki “kode” yang lebih mudah dipahami oleh kelompok “elit” sehingga ada kelompok yang termarginalkan dari manfaat pendidikan karena tidak mampu atau tidak lancar dalam memahami “kode” tersebut. Pun Dar & Najar (2018) menyebutkan bahwa kurikulum cenderung merefleksikan budaya kelas yang “berkuasa”. Jika menggunakan kosa kata Gramsci, pendidikan merupakan bentuk hegemoni (Borofsky, 1994; Kottak, 2015) dimana masyarakat umumnya menganggap apa yang terjadi dalam pendidikan merupakan hal yang natural dimana nyatanya ia merupakan hasil reproduksi budaya suatu pihak. Foucault juga menyatakan hal yang demikian dimana ia menyatakan bahwa pendidikan merupakan produk kekuasaan dimana pendidikan merupakan hasil “dikte” pihak yang memegang kuasa (Hewett, 2004).

Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan kebutuhan peserta didik agar pendidikan yang ada memang mengandung esensi pendidikan yang inklusif. Untuk itu, diperlukan pendekatan kapabilitas dalam pendidikan yang dicanangkan oleh Amartya Sen (Rajapakse, 2016). Rajapakse (2016) menjelaskan bahwa pendekatan kapabilitas menekankan pentingnya upaya agar individu dapat mengembangkan kapabilitas atau kemampuannya agar dapat meraih apapun yang dianggap berharga oleh dirinya. Alhasil, pendidikan seyogyanya membantu individu atau peserta didik untuk menggapai apa yang mereka anggap berharga. Tidak hanya itu, pendidikan juga sepatutnya peka terhadap perbedaan budaya yang ada. Beda kebudayaan akan memiliki perbedaan dalam pengetahuan, media pembelajaran atau cara dalam belajar, dan kebutuhan akan pendidikan itu sendiri (Pinxten, 2016; Grinager, 1977). Pendekatan ini dalam pendidikan kerap dikenal dengan sebutan pendidikan transformatif.

Amartya Sen, sumber: Kompasiana

Kemendikbud-ristek (2020) menyatakan bahwa program Merdeka Belajar ditujukan agar manusia Indonesia memiliki keunggulan dan daya saing yang unggul. Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah dengan pengukuran apa manusia Indonesia dapat dikatakan memiliki keunggulan dan daya saing yang unggul? Dalam buku yang sama, Kemendikbud-ristek (2020) menjelaskan bahwa melihat hasil Programme for International Student Assessment (PISA) dimana hasil bagi Indonesia kurang memuaskan, Kemendikbud-ristek memutuskan untuk meluncurkan program Merdeka Belajar ini. Dengan demikian, dapat dikatakan pengukuran yang terstandarisasi, dalam hal ini PISA, merupakan salah satu dari pengukuran yang digunakan. Akan tetapi, Laksana (2020) menyebutkan bahwa bentuk pendidikan ini hanya mendaur ulang bentuk pendidikan yang lama yang tidak atau setidaknya kurang inklusif. Pemfokusan pada perbaikan hasil yang terstandarisasi memang tidak salah secara fundamental, tetapi perlu diperhatikan bahwa hal ini mengerdilkan pendidikan hanya ke dalam bentuk angka dan melupakan budaya pendidikan yang beragam dan pengalaman peserta didik dalam pendidikan itu sendiri (Dar & Najar, 2018). Selain itu, perbaikan ini merupakan agenda pemerintah sehingga program Merdeka Belajar tentunya disesuaikan dengan hal tersebut. Kemendikbud-ristek (2020) menyatakan bahwa Merdeka Belajar akan memberi fleksibilitas dalam pendidikan. Memang perlu diapresiasi, tetapi harus ditanggapi dengan seksama karena hal tersebut berpotensi hanya sebagai pengalih kesadaran, alih-alih menghadapi masalah yang ada (Freire, 2005).

Selain itu, pernyataan “daya saing yang unggul” dapat mengindikasikan bahwa program Merdeka Belajar ini, meskipun dengan berbagai macam kelebihannya, ditujukan kembali untuk mencetak tenaga kerja. Laksana (2020) menyayangkan hal tersebut karena pengetahuan dikerdilkan hanya ke dalam aspek pragmatisnya. Merujuk kepada pendekatan kapabilitas Amartya Sen dalam pendidikan, pendidikan yang ditujukan untuk pasar tentunya tidak sesuai dengan bentuk pendidikan yang dicanangkan oleh Sen karena apa yang dianggap berharga oleh pasar belum tentu sesuai atau bahkan berseberangan dengan apa yang dianggap berharga oleh peserta didik. Agenda neoliberal ini perlu ditanggapi dengan baik agar pendidikan tidak jatuh hanya untuk pasar sebagaimana pandangan neoliberalisme terhadap pendidikan (Lakes & Carter, 2011).

Sumber: https://www.bulaksumurugm.com/2020/09/15/melirik-sekilas-kebijakan-merdeka-belajar-kampus-merdeka/

Seperti yang disinggung sebelumnya, pendidikan yang inklusif atau merata membutuhkan perhatian terhadap manfaat pendidikan itu sendiri. Tidak lupa pula, pemahaman pendidikan oleh Amartya Sen yang mengharuskan pendidikan untuk memperhatikan kebutuhan peserta didik sebagai bentuk perhatian terhadap manfaat pendidikan. Namun, kebutuhan tiap daerah atau tiap masyarakat akan berbeda-beda. Maka, pendidikan yang inklusif tidak boleh melupakan isu kontekstualitas. Fleksibilitas dalam program Merdeka Belajar ditujukan agar pendidikan menjadi lebih kontekstual dengan mengembalikan pendidikan kepada pemerintah daerah dan masing-masing sekolah (Kemendikbud-ristek, 2020). Lagi-lagi, hal ini patut diapresiasi karena menuju kepada esensi pendidikan inklusif yang sesungguhnya, tetapi perlu juga untuk ditanggapi secara kritis. Dar & Najar (2018) berargumen bahwa fleksibilitas ini dapat mengindikasikan lepas tangan negara dalam mengurus isu pendidikan. Konstitusi Indonesia dengan jelas mengamanatkan pemerintah untuk ikut serta dalam menangani isu pendidikan sehingga hal ini perlu diperhatikan dengan seksama. Selain itu, kontekstualitas ini juga tidak bisa sebatas memberi otonomi pendidikan kepada sekolah. Sekolah belum tentu paham akan kebutuhan dan budaya murid-muridnya. Jika kembali kepada konsep hegemoni Gramsci sebelumnya, sekolah yang ada bisa saja hanya akan mereproduksi kembali bentuk pendidikan yang lama karena ketidakpahamannya akan budaya dan kebutuhan yang ada. Dar & Najar (2018) menekankan pentingnya pelatihan dan edukasi antropologis kepada sekolah dan/atau tenaga pengajar untuk dapat memahami budaya dan kebutuhan aktual murid dalam sekolah tersebut. Singkatnya, dalam mewujudkan pendidikan yang kontekstual, tidak bisa sebatas memberikan otonomi karena ada berbagai macam aspek yang perlu diperhatikan.

Untuk lebih jelasnya, Kemendikbud-ristek (2020) menjelaskan dalam Merdeka Belajar, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) akan dikembalikan kepada masing-masing sekolah untuk mendesain bentuk penilaian seperti apa yang akan diberikan kepada murid-muridnya. Namun, melihat bentuk USBN dalam tahun-tahun sebelumnya dimana ketentuannya ditetapkan oleh pemerintah pusat, sekolah berpotensi mengalami hegemoni dan akan mereproduksi bentuk USBN lama yang tidak relevan dengan kondisi sosial-budaya dimana sekolah tersebut berada.

Anindito Aditomo — Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kemendikbud-ristek menyampaikan bahwasannya penerapan Kurikulum Merdeka (yang merupakan bagian dari Merdeka Belajar) merupakan hal yang opsional (Sekretariat GTK, 2022). Ia melanjutkan bahwa sekolah-sekolah yang dirasa belum siap tidak perlu menerapkannya. Iwan Syahril — Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) — juga menyampaikan bahwa Kemendikbud-ristek siap membantu sekolah yang berminat dalam menerapkan program ini (Sekretariat GTK, 2022). Namun, jika kembali kepada argumen Dar & Najar (2018) sebelumnya, hal ini dapat menunjukkan lepas tangan pemerintah yang tidak ingin “turun tangan” bagi sekolah-sekolah yang tidak ingin menerapkan Merdeka Belajar atau lebih khususnya Kurikulum Merdeka dan tidak “turun tangan” untuk mempersiapkan sekolah untuk menerapkan Merdeka Belajar.

Selanjutnya, dalam artikel yang sama, disebutkan bahwa tujuan Merdeka Belajar adalah mengatasi masalah pembelajaran yang ada di Indonesia (Sekretariat GTK, 2022) dan Kemendikbud-ristek (2020) — seperti yang sudah disinggung di atas — meluncurkan Merdeka Belajar untuk meningkatan kualitas manusia Indonesia. Akan tetapi, jika sekolah yang tidak berminat diperbolehkan untuk tidak menerapkan Merdeka Belajar artinya adalah sekolah-sekolah tersebut akan menggunakan model yang lama yang merupakan salah satu sumber permasalahan pembelajaran yang ada. Terlebih lagi, menggunakan model yang lama artinya mempertahankan kondisi kualitas manusia yang sebetulnya ingin ditingkatkan. Dengan kata lain, program Merdeka Belajar ini berpotensi memperkuat hegemoni karena tidak berupaya untuk mengubah kesadaran sekolah-sekolah atau jika meminjam istilah Marx dan Engels, tidak berupaya untuk mengubah false consciousness yang dialami oleh satuan pendidikan.

Sumber: Edukasijobs

Perspektif antropologi dalam pendidikan dapat membantu untuk menangani masalah ini. Perspektif antropologi dalam pendidikan akan mendorong bentuk pendidikan yang peka akan perbedaan budaya (Dar & Najar, 2018). Grinager (1977) bahkan sampai menyatakan pendidik sebaiknya merupakan antropolog atau setidaknya memiliki pemahaman akan perspektif antropologi. Perspektif antropologi dalam pendidikan akan merespons dengan baik terhadap kebutuhan dan budaya peserta didik. Misal dalam studi etnomatematika, yaitu suatu cabang dalam antropologi yang melihat matematika dan relasinya dengan sosial-budaya masyarakat (Barton, 1996; Borba, 1990; Fasheh, 1982, Gerdes, 1994), menunjukkan bahwa matematika tidak bisa dilepaskan dari sosial-budaya masyarakat sehingga pendidikan matematika pun tidak bisa lepas dari konteks sosial-budaya masyarakat. Sebagai ilustrasi, Fasheh (1982) menceritakan pengalamannya di Palestina dimana pendidikan — dalam ceritanya ia fokus pada pendidikan matematika — ”didiktekan” melalui modul yang diluncurkan oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization atau UNESCO. Namun, Fasheh (1982) melanjutkan pendidikan tersebut tidak berhasil karena orang-orang yang menyusun modul tersebut gagal untuk memahami budaya dan kebutuhan setempat.

Alhasil, pendidikan akan berjalan efektif dan efisien, baik secara pragmatis maupun secara transformatif, apabila ia dikembalikan dalam relasinya dengan konteks sosial-budaya. Pendeknya, melalui perspektif antropologi, yang mengutamakan melihat sesuatu secara holistik, beragam, dan melihat relasi sosial-budaya dengan sesuatu dapat memajukan pendidikan karena pendidikan akan dikembalikan relasinya dengan sosial-budaya, dilihat secara menyeluruh agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan dilihat secara beragam agar sesuai dengan budaya tiap masyarakat. Bentuk pendidikan akan memiliki keberagaman jika diterapkan. Keberagaman ini sepatutnya dipersepsikan sebagai anugerah atau aset, alih-alih sebagai beban (Dar & Najar, 2018). Pendidikan, dengan demikian, akan menjadi lebih demokratis karena mengembalikan dan membebaskan pendidikan kepada masyarakat itu sendiri — menangkal bentuk represif dalam pendidikan (Vilenas, 2019). Borofsky (1994) pun menyatakan bahwa keberagaman yang ada sepatutnya dilihat sebagai aset yang berharga, bukan sebagai beban yang harus dihilangkan. Keberagaman itu nyata adanya dan Bohannan (2012) memperingati agar tidak terjebak dalam naive realism, yaitu pandangan naif terhadap dunia dimana memandang apa yang terjadi dalam satu masyarakat diasumsikan terjadi juga dalam konteks masyarakat yang berbeda.

Pun perspektif sosiologi dapat dan sepatutnya diterapkan dalam melihat pendidikan. Perspektif sosiologi yang menekankan pentingnya melihat sesuatu dalam hubungannya dengan kondisi sosial masyarakat, seperti social order (bagaimana masyarakat menciptakan keteraturan sosial) dan social forces (bagaimana kehidupan dalam masyarakat akan selalu dipengaruhi oleh “kekuatan-kekuatan” sosial) (Macionis, 2017) dapat membantu melihat pendidikan secara lebih aktual. Pendidikan tidaklah berdiri sendiri, melainkan berdiri dalam suatu ruang sosial — pendidikan akan selalu dibentuk untuk keteraturan sosial (social order) dan akan selalu dipengaruhi oleh “kekuatan” sosial. Dengan demikian, melihat pendidikan melalui berbagai macam pendekatan sosiologis membantu mengevaluasi pendidikan lebih aktual. Misal, seperti yang disinggung di awal, dengan menerapkan pendekatan konflik sosial, pendidikan dapat dilihat sebagai ajang kontestasi kelas. Jika menerapkan perspektif lain, seperti struktural-fungsional, pendidikan dapat dilihat fungsinya dalam masyarakat, terlebihnya dalam menjaga ekuilibrium masyarakat (Macionis, 2017). Dengan demikian, pendidikan dapat merespons kebutuhan peserta didik dengan lebih baik dan pendidikan dapat dievaluasi dengan lebih akurat.

Sumber: https://www.achieveriasclasses.com/relationship-between-sociology-and-anthropology/

Program Merdeka Belajar merupakan program yang perlu diapresiasi. Namun, sebelum ia bisa dijalankan dan juga agar ia dapat berjalan sesuai tujuannya, diperlukan perhatian terhadap pemerataan pendidikan atau yang saya sebut sebagai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif memang perlu memperhatikan permasalahan akses dan fasilitas, seperti internet, gedung, dan jalan. Meskipun demikian, menurut perhatian saya tidaklah cukup jika fokus hanya diberikan kepada akses dan fasilitas. Diperlukan perhatian yang sama “beratnya” kepada manfaat dari pendidikan itu sendiri.

Pertanyaan “apakah masyarakat sudah merasakan dampak atau manfaat dari pendidikan?” merupakan pertanyaan yang krusial dan sayangnya sering terlupakan dalam bayang-bayang pertanyaan “apakah masyarakat sudah dapat mengakses pendidikan?”

Padahal — tanpa bermaksud mengerdilkan isu akses dan fasilitas — pertanyaan mengenai manfaat tersebut merupakan pertanyaan kunci dalam pengimplementasian program Merdeka Belajar ini.

Menurut hemat saya, dengan pengimplementasian perspektif sosiologis dan terutama antropologis, dapat membantu menghadapi berbagai macam tantangan mengenai pendidikan yang merata ini agar Merdeka Belajar dapat berjalan lancar. Penerapan perspektif tersebut dapat membantu mewujudkan pendidikan merata yang riil dan tidak hanya sekadar ilusi bahwa pendidikan sudah merata. Selain itu, penerapan perspektif tersebut juga dapat memperluas horizon atau pandangan mengenai pendidikan yang merata yang umumnya cenderung hanya berbicara di level material, tetapi tidak substansial yang tidak kalah penting — atau mungkin lebih penting. Jika pemerataan pendidikan sudah terwujud secara riil, program Merdeka Belajar dapat dijalankan dengan baik dan tentunya, dalam prosesnya, dapat memberikan manfaat yang baik pula.

Akhir kata, semoga Hari Pendidikan Nasional 2022 dapat digunakan sebagai momen untuk melihat dan mengevaluasi kembali proses pendidikan di Indonesia, terkhususnya program Merdeka Belajar ini. Pendidikan merupakan hal yang berharga bagi semua orang. Pengetahuan — yang merupakan hasil dari pendidikan — ialah perihal yang bermanfaat, baik pragmatis maupun transformatif. Sudah menjadi natur dari manusia untuk terus mencari pengetahuan dan pendidikan sudah seyogyanya memfasilitasi hal tersebut. Layaknya yang dinyatakan oleh Stephen Hawking (2013)

“Humanity’s deepest desire for knowledge is justification enough for our continuing quest. And our goal is nothing less than a complete description of the universe we live in”.

Dengan demikian, sejatinya, pendidikan tidak boleh menghalangi natur manusia ini sehingga program Merdeka Belajar ini sepatutnya menginternalisasi nilai yang sama.

Referensi:

Buku

Barton, Bill. “Chapter 27: Anthropological Perspectives on Mathematics and Mathematics Education.” International Handbook of Mathematics Education, diedit oleh Christine Keitel-Kreidt, et al., Springer Netherlands, 2014, pp. 1035–1053.

Bohannan, Laura. “Shakespeare in The Bush.” Conformity and Conflict: Readings in Cultural Anthropology, by James P. Spradley and David W. McCurdy, diedit oleh James P. Spradley and David W. McCurdy, Pearson, 2012, pp. 41–48.

Borofsky, Robert, editor. Assessing Cultural Anthropology. McGraw-Hill, 1994.

Freire, Paulo. Pedagogy of the oppressed. Continuum, 2005.

Hawking, Stephen. A Brief History of Time: Sejarah Singkat Waktu. Ditranslasikan oleh Z. Anshor, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Buku Saku Merdeka Belajar: Prinsip dan Implementasi pada Jenjang SMA. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2020.

Kottak, Conrad Phillip. Cultural Anthropology. McGraw-Hill Education, 2015.

Latif, Yudi. Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif. PT Gramedia Pustaka Utama, 2020.

Macionis, John J. Sociology. Pearson Education Limited, 2017.

Pinxten, Rik. MULTIMATHEMACY: Anthropology and Mathematics Education. Springer International Publishing, 2015.

Artikel Jurnal

Borba, Marcelo C. “Ethnomathematics and Education.” For the Learning of Mathematics, vol. 10, no. 1, 1990, pp. 39- 43.

Dar, Wahid Ahmad, dan Irshad Ahmad Najar. “Educational Anthropology, Tribal Education and Responsible Citizenship in India.” South Asia Research, vol. 38, no. 3, 2018, pp. 327–346.

Fasheh, Munir. “Mathematics, Culture, and Authority.” For the Learning of Mathematics, vol. 3, no. 2, 1982, pp. 2–8.

Febriyanti, N. “Implementasi Konsep Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara.” Jurnal Pendidikan Tambusai, vol. 5, no. 1, 2021, pp. 1631–1638.

Gerdes, Paulus. “Reflections on Ethnomathematics.” For the Learning of Mathematics, vol. 14, no. 2, 1994, pp. 19–22.

Grinager, Patricia. “Educational Patterns and Cultural Configurations: The Anthropology of Education. Schooling in the Cultural Context: Anthropological Studies of Education. Joan I. Roberts and Sherrie Akinsanya. New York: David McKay, 1976.” Journal of Teacher Education., vol. 28, no. 1, 1977, p. 54.

Lakes, Richard D., and Patricia A. Carter. “Neoliberalism and Education: An Introduction.” Educational Studies, vol. 47, no. 2, 2011, pp. 107–110.

Rajapakse, N. “Amartya Sen’s Capability Approach and Education: Enhancing Social Justice.” Revue LISA/LISA, vol. 14, no. 1, 2016, pp. 1–15.

Suparlan, Henricus. “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia.” Jurnal Filsafat, vol. 25, no. 1, 2015, pp. 56–74.

Unser, Alexander. “Social Inequality in Religious Education: Examining the Impact of Sex, Socioeconomic Status, and Religious Socialization on Unequal Learning Opportunities.” Religions, vol. 13, no. 389, 2022, pp. 1–17.

Vilenas, Sofia A. “The Anthropology of Education and Contributions to Critical Race Studies.” Equity & Excellence in Education, vol. 52, no. 1, 2019, pp. 68–74.

Artikel Daring

Laksana, Ben K. C. “Merdeka Belajar” Gaya Menteri Nadiem: Apanya yang Merdeka?” IndoPROGRESS, 15 September 2020, https://indoprogress.com/2020/09/merdeka-belajar-gaya-menteri-nadiem-apanya-yang-merdeka/. Diakses pada 7 Mei 2022.

Sekretariat GTK. “Penerapan Kurikulum Merdeka Merupakan Opsi bagi Satuan Pendidikan yang Siap.” Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, 5 April 2022, https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/penerapan-kurikulum-merdeka-merupakan-opsi-bagi-satuan-pendidikan-yang-siap. Diakses pada 11 Mei 2022.

Lain-lain

Hewett, M. A. Michel Foucault: Power/Knowledge and Epistemological Prescriptions. The University of Richmond, 2004. Honors Thesis.

#KampusMerdeka #KampusMengajar

--

--

Althaf Yusfid

“One of the advantages of anthropology as a scholarly enterprise is that no one, including its practitioners, quite knows exactly what it is.” — Clifford Geertz