Memikirkan Ulang Makna “Menjaga Budaya”: Menjaga Budaya, untuk Siapa?

Althaf Yusfid
9 min readNov 19, 2022
Sumber: Freepik

Retorika yang Tidak Pernah Mati

Penting untuk menjaga budaya Indonesia!”

“Budaya Indonesia adalah identitas kita, penting untuk menjaga identitas kita!”

“Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi!?”

Beberapa kalimat di atas, saya rasa, merupakan kalimat-kalimat yang sering didengar sejak kita mengenyam pendidikan, setidaknya mulai dari sekolah dasar (SD). Meskipun mungkin kalimatnya tidak sesuai, saya yakin nadanya sama. Sejak kecil kita diajarkan bahwa sudah kewajiban kita sebagai warga negara untuk menjaga budaya kita, budaya Indonesia.

Namun, apa sebetulnya itu budaya dan apa yang dimaksud dengan “menjaga budaya”? Budaya yang mana yang perlu kita lestarikan? Terlebih lagi, mengapa kita perlu untuk menjaga budaya tersebut? Retorika-retorika itu hidup (dan hampir tidak pernah mati) dalam pengalaman saya mulai dari kecil, hingga saya duduk di bangku perkuliahan seperti sekarang. Gagasan-gagasan mengenai menjaga budaya bangsa dianggap sebagai hal yang “given” atau lumrah tanpa pernah dipertanyakan kembali mengenai esensi dari itu semua. Hal yang juga sering muncul dalam gagasan “menjaga budaya bangsa” adalah anggapan bahwa masyarakat tidak peduli dengan budaya bangsa (Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, 2019). Akan tetapi, seperti yang sudah disebut, tidak dijelaskan secara jelas apa yang dimaksud dengan budaya di sini — bagaimana seseorang dapat membuat klaim bahwa masyarakat tidak peduli dengan budaya sendiri jika budaya saja tidak didefinisikan secara jelas? Selain itu, masyarakat yang mana yang dimaksud? Padahal, jika memang benar ingin menjaga budaya, kita perlu tahu terlebih dahulu apa yang kita maksud dengan budaya untuk tahu apa yang sebetulnya perlu kita lestarikan dan mengapa hal itu penting untuk dilestarikan. Oleh karena itu, menurut hemat saya, dalam rangka melestarikan budaya bangsa, penting untuk memikirkan ulang makna “menjaga budaya bangsa” agar kita semua tahu, apa yang sebetulnya perlu dilestarikan. Terlebih lagi, saya merasa dekonstruksi ini dapat menjawab pertanyaan “siapa yang sebetulnya diuntungkan dengan adanya upaya menjaga budaya bangsa?”

Budaya yang Mana dan Siapa yang Dilestarikan?

Pertanyaan mendasar dari isu ini ialah apa yang kita maksud dengan budaya? Apakah praktik-praktik ritual seremonial? Seni-seni eksentrik yang dihasilkan tiap daerah? Terlebih lagi, budaya siapa yang dimaksud? Tidak mudah mendefinisikan budaya. Koentjaraningrat (2015) mendefinisikan budaya sebagai perwujudan hasil belajar manusia, atau lebih tepatnya “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.” Namun demikian, definisi ini hanyalah satu dari banyaknya definisi mengenai budaya. Bahkan, Kroeber dan Kluckhohn menemukan ada setidaknya 150 definisi mengenai budaya (Borofsky, 1994). Selain itu, apakah betul hanya kegiatan belajar, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang memengaruhi apa yang disebut sebagai budaya?

Barrett (2009) menuliskan bahwa budaya merupakan hal yang kompleks karena ia dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti irasionalitas, emosi, konteks politik (domestik dan internasional), dan seterusnya. Dengan banyaknya faktor ini, apakah masih bisa menyebut budaya hanya sebagai hasil belajar? Seperti yang bisa dilihat, definisi budaya merupakan hal yang rumit untuk diformulasikan. Oleh karena itu, kembali ke pertanyaan awal mengenai menjaga budaya bangsa, apa yang kita maksud dengan menjaga budaya? Budaya mana yang perlu kita lestarikan?

Jika mendefinisikan budaya sulit, lebih sulit menunjuk pihak yang memiliki suatu budaya. Apakah sekali suatu kelompok masyarakat menjadi suatu bagian dari budaya tertentu, ia “beku” dalam waktu? Salah satu anggapan yang “salah” adalah anggapan bahwa budaya merupakan entitas yang dapat dilihat secara ahistoris — padahal, ia merupakan hal yang secara konstan dikonstruksi, didekonstruksi, dan direkonstruksi mengikuti perkembangan ekonomi-politik suatu masyarakat (Mulyanto, 2011; Schrauwers, 1999) dan mengikuti perkembangan diskursus suatu kelompok masyarakat (Ahearn, 2016). Dengan demikian, suatu kelompok masyarakat selalu mengubah budayanya sehingga, kembali ke pertanyaan, budaya siapa yang dimaksud? Budaya era yang mana? Selain itu, peran individu dalam mengkonstruksi budaya dan “membengkokkan”-nya juga tidak dapat dilupakan karena sisi pragmatis dari kelompok masyarakat merupakan hal yang cukup kuat (kadang lebih kuat dari sisi normativitas suatu masyarakat) (Boissevain, 1968) sehingga budaya dapat mengikuti kepentingan seorang individu atau segelintir orang. Alhasil, budaya yang dielu-elukan untuk dilestarikan perlu dipikirkan ulang: budaya yang “mana” dan budayanya “siapa”?

Budaya Nasional atau Budaya Kelas?

Sentimen mengenai budaya yang mana dan siapa yang perlu dilestarikan cenderung dikembalikan kepada gagasan mengenai budaya nasional. Namun, pertanyaannya adalah apa sebetulnya budaya nasional? Apakah yang kita sebut sebagai budaya nasional benar-benar ada? Dengan beragamnya “budaya” yang ada di Indonesia, bagaimana seseorang bisa membuat pernyataan mengenai budaya nasional?

Koentjaraningrat (1985) mendefinisikan budaya nasional sebagai budaya yang didukung oleh mayoritas warga negara, bangga untuk ‘dipertontonkan’, dan memberi rasa identitas kepada orang-orang yang mendukung budaya tersebut. Namun, mengapa masyarakat mendukungnya? Apakah betul budaya tersebut memang dibanggakan? Apakah semua atau sebagian masyarakat “patuh” kepada budaya tersebut?

Konsepsi budaya tersebut menghilangkan aspek agency dari manusia itu sendiri — seperti yang disebut sebelumnya, bagaimana sebetulnya suatu budaya merupakan hasil manipulasi dari individu dan budaya selalu “dibengkokkan” oleh manusia (Moberg, 2018). Marx juga menulis bahwa negara (dengan konsepsi budaya nasional-nya) merupakan hasil dari proses sejarah yang muncul karena adanya pembedaan kelas — yang merupakan suatu keharusan bagi kelas dominan untuk menjaga kepentingannya. Oleh karenanya,bisa disebut bahwa budaya nasional merupakan refleksi dari budaya kelas sosial tertentu (Mulyanto, 2011). Graeber (2005) juga menuliskan bahwa budaya bukanlah hal yang kekal, ia selalu dikonstruksi ulang guna menjaga dan membangun relasi sosial. Pun, Wolf (2001) menulis bahwa pola-pola perilaku yang dominan dalam suatu masyarakat terbentuk karena interaksi suatu jejaring sosial yang membentuk atau memengaruhi norma suatu institusi sosial yang kemudian (tergantung seberapa kuat pengaruh itu) ditarik oleh jejaring sosial lain untuk “diikuti” polanya. Ahearn (2016), seperti yang ditulis di atas, ikut menambahkan bahwa yang disebut dengan identitas juga bersifat sangat cair, mengikuti perkembangan diskursus sehingga sulit (atau bahkan mustahil) untuk memberi label identitas nasional yang bersifat kekal dan kaku. Dengan demikian, budaya, seperti yang dituliskan Barrett di atas, penuh dengan proses politis sehingga sulit untuk menentukan budaya nasional yang dapat mencakup seluruh atau sebagian besar warga negara. Bagaimana budaya (khususnya budaya nasional) dikonstruksikan selalu mengandung unsur kelas. Unsur kelas ini dijelaskan oleh Bourdieu yang berpendapat bahwa seseorang ‘bergerak’ dikondisikan oleh habitus-nya, yakni internalisasi nilai-nilai penting yang terbentuk oleh berbagai macam kapital yang ia miliki (Bourdieu, 2014; Huang, 2019). Alhasil, institusi, diskursus, dan jejaring sosial yang berkenaan dengan budaya yang dibangun oleh individu tidak terlepas dari unsur kelas yang, secara implisit, membangunnya.

Untuk Siapa?

Jika budaya sulit untuk didefinisikan, bersifat dinamis dan politis, serta sulit untuk menunjuk yang mana yang dimaksud dengan budaya nasional, pertanyaannya kemudian mengapa dan untuk siapa pelestarian budaya ini sebenarnya? Kepentingan apa yang tertanam dalam upaya pelestarian budaya? Argumen yang sering didengar untuk menjawab “mengapa kita perlu menjaga budaya kita?” adalah karena budaya asing tidak semuanya sesuai dengan nilai dan norma bangsa Indonesia (Nahak, 2019). Namun, selain tidak ada yang menjawab nilai dan norma bangsa Indonesia ‘yang mana’ yang dirujuk, jarang ada yang menjelaskan mengapa budaya asing ini tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma bangsa Indonesia.

Jawaban yang sering diberikan adalah untuk kepentingan pembangunan negara, seperti yang dituliskan oleh Nahak (2019), “padahal melalui pembelajaran budaya, kita dapat mengetahui pentingnya budaya lokal dalam membangun budaya bangsa serta bagaimana cara mengadaptasikan budaya lokal di tengah perkembangan zaman yaitu era globalisasi” dan juga “budaya nasional harus menjadi bagian dari aset Bangsa Indonesia yang dapat mendatangkan pendapatan bagi masyarakat dan negara.” Sentimen developmentalistis ini juga dapat ditemui dalam tulisan Koentjaraningrat (2007) yang melakukan analisis mengenai aspek-aspek budaya di Indonesia yang mendukung dan menghambat pembangunan.

Akan tetapi, seperti yang diutarakan di atas, kepentingan negara merefleksikan kepentingan kelas. Alhasil, pembangunan yang merupakan kepentingan negara merefleksikan kepentingan kelas yang memegang kuasa. Inilah yang diutarakan oleh Althusser (2012) dan Gramsci (2015). Mereka berpendapat, guna menjaga kondisi negara (relasi produksi) perlu untuk mereproduksi aspek-aspek yang melanggengkan kondisi tersebut. Pendekatan Althusser juga menjelaskan mengapa sentimen menjaga budaya sangat kuat berada di masyarakat karena budaya memainkan peran Ideological State Apparatuses (ISA) yang bekerja secara subtil dan implisit dalam mempromosikan ideologi (Allison, 1994). Dengan demikian, budaya-budaya yang ingin dilestarikan untuk kepentingan pembangunan sebetulnya diselimuti oleh kepentingan atau ideologi kelas. Oleh karena itu, budaya-budaya yang dilestarikan merupakan budaya yang dapat memberi nilai ekonomi kepada negara. Hal ini dapat dilihat dalam pengutamaan budaya yang bersifat estetis yang dapat diperjualbelikan, dijadikan objek wisata, dan diselenggarakan pentas seni (Gischa 2020; Kompas, 2008). Selain itu, upaya-upaya penjagaan budaya ini juga ditujukan guna mendapat predikat ‘internasional’ yang diberikan oleh organisasi, seperti UNESCO (Karunia, 2022; Kompas, 2008) yang dapat “memantapkan” posisi Indonesia di kancah internasional (baca: memantapkan posisi kelas penguasa di kancah internasional). Mengapa disebut demikian? Karena budaya-budaya yang “dilestarikan” tersebut sejatinya memiliki relevansi yang kecil dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Budaya-budaya yang “tidak kasat mata dan tidak bernilai jual” seperti sistem kekerabatan tidak mendapat perhatian oleh negara — yang memiliki relevansi lebih dekat dalam mengatur perekonomian rumah, misal (Schrauwers, 1999) dan lebih “fulfilling” terhadap kehidupan manusia (Graeber, 2014). Dengan demikian, pelestarian budaya tidaklah berpihak kepada masyarakat yang memiliki budaya yang dimaksud (jika bisa disebut demikian) melainkan memihak kepada kepentingan kelas tertentu.

Suatu Keresahan

Mungkin, seluruh tulisan ini hanyalah ‘bias’ saya sebagai pembelajar antropologi yang penuh dengan keresahan akan sulitnya untuk mendefinisikan budaya di disiplin ini. Memang menjengkelkan bahwa konsepsi budaya yang terlihat ‘mantap’ ternyata dapat diruntuhkan dengan seketika. Namun demikian, keresahan yang saya rasakan, merupakan keresahan yang diperlukan sehingga banyak orang perlu merasakannya juga. Keresahan ini dapat membangkitkan daya kritis — bahwa banyak hal sulit untuk didefinisikan. Selain itu, daya kritis ini, menurut saya, dapat membantu banyak orang untuk dapat melawan eksploitasi yang dilakukan oleh pihak tertentu. Ya, inti tulisan ini memang hanya keresahan. Akan tetapi, meminjam kata-kata Kierkegaard, tanpa keresahan tidak ada ruang tumbuh sebagai manusia yang merdeka (Slater, 2019). Dengan keresahan saya, saya harap kita dapat memaknai budaya secara lebih merdeka pula. Saya tidak menafikan pentingnya menjaga budaya karena, seperti yang ditulis oleh Rockman (2022) bahwa cultural heritage merupakan bagian dari “natur” manusia dan alasan manusia berperilaku dalam masyarakat. Namun demikian, memaknai budaya hanya sebagai hal yang ‘estetis’ dan ‘ahistoris’ merupakan bentuk eksploitasi dan pembodohan yang kejam.

Referensi

Ahearn, L. M. (2016). Living Language: An Introduction to Linguistic Anthropology. Wiley.

Allison, A. (1991). Japanese Mothers and Obentōs: The Lunch-Box as Ideological State Apparatus. Anthropological Quarterly, 64(4), 195–208.

Althusser, L. (2012). Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation). Dalam S. Žižek (Editor), Mapping Ideology. Verso.

Barrett, S. R. (2009). Anthropology: A Student’s Guide to Theory and Method. University of Toronto Press.

Boissevain, J. (1968). The Place of Non-Groups in the Social Sciences. Man, 3(4), 542–556.

Borofsky, R. (1994). Assessing Cultural Anthropology. McGraw-Hill Education.

Bourdieu, P. (2014). Participant Objectivation. Dalam T. Sanders & H. L. Moore (Editor), Anthropology in Theory: Issues in Epistemology (pp. 556–560). Wiley.

Dinas Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Buleleng. (7 Januari, 2019). Pentingnya Menjaga Kebudayaan Daerah. Dinas Kebudayaan. Diakses pada 8 Oktober, 2022, dari https://disbud.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/pentingnya-menjaga-kebudayaan-daerah-70

Gischa, S. (23 September, 2020). Cara Melestarikan Budaya Indonesia. Kompas.com. Diakses pada 22 Oktober, 2022, dari https://www.kompas.com/skola/read/2020/09/23/130000869/cara-melestarikan-budaya-indonesia?page=all

Graeber, D. (2005). Fetishism as Social Creativity or, Fetishes are Gods in The Process of Construction. Anthropological Theory, 4(4), 407–438.

Graeber, D. (12 Juni, 2014). What’s the Point If We Can’t Have Fun? The Baffler. Diakses pada 22 Oktober, 2022, dari https://thebaffler.com/salvos/whats-the-point-if-we-cant-have-fun

Gramsci, A. (2015). Selections from the Prison Notebooks. Independently Published.

Huang, X. (2019). Understanding Bourdieu — Cultural Capital and Habitus. Review of European Studies, 11(3), 45–49.

Karunia, A. M. (20 Oktober, 2022). Luhut Prihatin Banyak Generasi Muda yang Jauhi Adat Istiadat dan Budaya Batak. Kompas Money. Diakses pada 22 Oktober, 2022, dari https://money.kompas.com/read/2022/10/20/204000826/luhut-prihatin-banyak-generasi-muda-yang-jauhi-adat-istiadat-dan-budaya-batak

Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. PT Gramedia.

Koentjaraningrat. (2007). Aneka Warna Manusia dan Kebudayaan Indonesia dalam Pembangunan. Dalam Koentjaraningrat (Editor), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (pp. 374–395). Djambatan.

Koentjaraningrat. (2015). Pengantar Ilmu Antropologi. Penerbit Rineka Cipta.

Kompas. (26 November, 2008). Generasi Muda Kurang Peduli Budaya Sendiri. Kompas.com. Diakses pada 22 Oktober, 2022, dari https://nasional.kompas.com/read/2008/11/26/17323361/~Oase~Cakrawala

Moberg, M. (2018). Engaging Anthropological Theory: A Social and Political History. Routledge.

Mulyanto, D. (2011). Antropologi Marx: Karl Marx tentang Masyarakat dan Kebudayaan. Ultimus.

Nahak, H. M. I. (2019). Upaya Melestarikan Budaya Indonesia di Era Globalisasi. Jurnal Sosiologi Nusantara, 5(1), 65–76.

Rockman, M. (15 Oktober, 2022). Conserving cultural heritage is vital for climate adaptation. The Hill. Diakses pada 22 Oktober, 2022, dari https://thehill.com/opinion/energy-environment/3689312-conserving-cultural-heritage-is-vital-for-climate-adaptation/

Schrauwers, A. (1999). Negotiating Parentage: The Political Economy of “Kinship” in Central Sulawesi, Indonesia. American Ethnologist, 26(2), 310–323.

Slater, P. (2020). Anxiety: The Dizziness of Freedom — The Developmental Factors of Anxiety as Seen through the Lens of Psychoanalytic Thinking. Dalam L. Allen, F. Durbano, R. L. Woolfolk, & F. Irtelli (Editor.), Psychopathology: An International and Interdisciplinary Perspective (pp. 1–13). IntechOpen.

Wolf, E. (2001). Kinship, Friendship, and Patron-Client Relations in Complex Societies. Dalam S. Silverman & E. Wolf (Editor), Pathways of Power: Building an Anthropology of the Modern World (pp. 166–183). University of California Press.

--

--

Althaf Yusfid

“One of the advantages of anthropology as a scholarly enterprise is that no one, including its practitioners, quite knows exactly what it is.” — Clifford Geertz