Birokrasi yang Efektif, Siapa yang Menanggungnya?

Althaf Yusfid
10 min readNov 4, 2023
Sumber: Core-cognition

Perbincangan mengenai visi-misi, atau bisa disebut “Grand Design” (GD), dari dua calon presiden dan calon wakil presiden yang sudah merilis GD mereka ramai diperbincangkan belakangan ini. Ada yang mendiskusikannya secara serius, ada pula yang mendiskusikannya secara satir. Banyak yang menyorot berbagai macam hal dari masing-masing GD ini; ada yang fokus pada masalah pendidikan dan riset, ada yang fokus pada masalah pekerja kreatif, ada yang fokus pada masalah industrialisasi, ada yang fokus pada masalah kekerasan seksual, dan seterusnya — setiap orang memiliki isu utamanya masing-masing, sepertinya. Tujuan saya di sini bukanlah untuk membahas secara mendetail mengenai isu-isu ini, tetapi saya ingin membahas instrumen utama yang akan membawa dan menangani isu-isu ini, yakni birokrasi.

Negara, sebagai suatu aparatus politik, akan menggunakan birokrasi untuk mewujudkan ide-ide mereka yang telah dituangkan dalam GD mereka. Oleh karena itu, kedua pasangan calon ini sama-sama menyorot pentingnya birokrasi yang efektif dan efisien dalam GD mereka. Keduanya sama-sama menekankan pentingya memotong alur birokrasi, entah melalui restrukturisasi birokrasi, entah melalui digitalisasi birokrasi. Birokrasi menjadi garda terdepan yang akan mewujudkan gagasan-gagasan pasangan calon ini sehingga tidak mengejutkan mereka sama-sama berargumen mengenai pentingnya birokrasi yang sehat.

Akan tetapi, entah mengapa, saya belum menemukan diskusi umum mengenai birokrasi dan bagaimana kedua pasangan calon ini akan mewujudkan bentuk birokrasi yang mereka janjikan. Saya, tentu, tidak dapat memprediksi bentuk birokrasi apa yang akan mereka bentuk; perlu dialog dengan pasangan calon yang bersangkutan. Namun demikian, saya ingin berbicara mengenai ide “birokrasi yang efektif” ini. Apakah birokrasi yang efektif itu mungkin? Jika birokrasi yang efektif dilakukan dengan pemotongan birokrasi, kemana kerja-kerja yang dipotong ini didelegasikan?

Untuk bisa membahas pertanyaan tersebut, tentu, kita perlu tahu dulu apa yang dimaksud dengan birokrasi. Secara sederhana, birokrasi adalah seperangkat dalam suatu organisasi atau institusi yang berbentuk aturan rasional guna menjalankan tugas organisasi/institusi secara efektif dan efisien. Singkatnya, seperangkat aturan yang memperjelas apa yang harus dan tidak harus dilakukan.[1] Harapannya ialah segala pekerjaan memiliki batas yang jelas sehingga pekerjaan tidak perlu “diperdebatkan” kembali dan dapat dijalankan dengan cepat. Dalam sejarahnya, birokrasi bermula dari zaman dahulu, mulai dari zaman Mesopotamia, Mesir, dst.[2] Ia mengalami bentuk “peak”-nya pada kantor pos di Jerman pada abad ke-17. Birokrasi berjalan dengan baik sehingga kantor pos, pada masanya, dilihat sebagai bentuk kantor yang “ideal.” Beberapa gerakan politik bahkan memiliki gagasannya sendiri mengenai birokrasi — termasuk gerakan anarkisme. Namun, dalam realita yang kita hidupi sehari-hari, berurusan dengan birokrasi kerap kali melahirkan rasa tidak enak — kesal, bingung, dan sebagainya. Mungkin pertanyaan yang muncul adalah apakah birokrasi mengalami perombakan dalam sejarah sehingga ia menjadi perangkat yang “lelet”?

Pertanyaan tersebut, tentu, valid. Namun, saya pikir perlu ditelaah lebih lanjut mengenai sifat birokrasi. Asumsi yang mendasari pertanyaan tersebut adalah, dalam hemat saya, birokrasi pada awalnya bersifat “murni formal” dalam artian aturan-aturan yang mendasari suatu organisasi tidak terusik oleh informalitas yang menganggu. Bayangkan saja situasi ketika kita pergi ke kelurahan untuk membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan pegawai negeri sipil (PNS) yang bertugas, alih-alih bekerja pada jam kerja, sibuk bermain minesweeper, atau menongkrong di samping gendung kelurahan. Dengan kata lain, asumsi ini mengatakan bahwa ada “ruang” untuk formalitas dapat berdiri sendiri. Akan tetapi, kenyataan dari birokrasi jauh dari asumsi tersebut. Justru, seperti yang kerap disampaikan oleh antropolog, formalitas tidak dapat berdiri tanpa informalitas; untuk mengerjakan hal-hal yang bersifat formal, acap kali kerja-kerja informal tidak dapat terelakkan.[3] Untuk menyelesaikan suatu proposal, misal, alih-alih mengikuti alur pembuatan proposal yang tertera dalam aturan, acap kali yang kita lakukan adalah menggunakan ulang proposal yang ada. Hal ini bukannya salah, tetapi jelas tidak tertera dalam aturan formal; menjadikannya informal.[4] Oleh karena itu, asumsi yang mendasari eksplanasi sejarah dan pertanyaan sebelumnya adalah asumsi Weberian mengenai birokrasi yang memandang birokrasi sejatinya sebagai entitas rasional dengan segala keterbatasannya.[5] Sejarah mengenai kantor pos tersebut bukan berarti bohong — birokrasi kantor pos memang betul mengantarkan efektivitas dan efisiensi,[6] hanya saja, asumsi bahwa ada “formalitas murni” ini adalah hal yang perlu dipermasalahkan.

Jika formalitas dari birokrasi disandingkan dengan informalitas, mengapa kita perlu informalitas dalam formalitas? Mengapa kita tidak mengikuti aturan sebagaimana ia dituliskan dan diformulasikan? Teks aturan atau birokrasi tidak bisa dilihat hanya sebagai “objek” yang dilihat, melainkan ia adalah suatu teks yang “dibaca.” Implikasinya ialah birokrasi perlu diinterpretasi.[7] Praktik interpretasi, tetapi, sebagaimana kita semua tahu, memerlukan subjektivitas dalam artian ia dibentuk oleh aspek sosio-kultural yang berbeda-beda; terdapat rasa kebebasan dalam interpretasi.[8] Singkatnya, ada pembacaan yang beragam terhadap suatu teks aturan. Meskipun demikian, suatu teks aturan tidak bisa benar-benar dipahami secara bebas; ada satu makna “asli” yang diasumsikan eksis dalam teks aturan tersebut.[9] Ketika kita berdebat mengenai makna dari suatu aturan, kita tidak sedang hanya menyampaikan interpretasi kita mengenai suatu aturan, tetapi juga mencari (atau bahkan menekankan) makna asli dari suatu aturan. Makna asli ini, tetapi, perlu dipahami darimana asalnya. Apakah ia tiba-tiba “ada” begitu saja? Suatu makna dari satu aturan lahir dari satu kerangka kekuasaan tertentu — ada kekuatan-kekuatan yang membuat suatu objek dianggap memiliki satu makna final.[10] Sebagai ilustrasi, apa makna kekerabatan? Apakah hanya orang yang kebetulan berada dalam garis keturunan yang sama, atau justru, meminjam istilah dari Marshall Sahlins, kekerabatan adalah mutuality of being — eksistensi bersama dalam tubuh yang berbeda?[11] Tentu, ada beragam cara memahami makna dari kekerabatan. Akan tetapi, dalam praktiknya, ada satu makna tunggal yang kita amini sebagai makna dari kekerabatan yang, umumnya, kita pahami sebagai keluarga nuklir yang memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. Namun demikian, tidak semua orang dapat menerima makna ini — banyak orang justru mendapat pengalaman buruk dengan keluarga nuklirnya, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa karena ia perlu menerima makna keluarga nuklir ini.[12] Keluarga, sebagai satu unit sosial, tidak datang begitu saja, melainkan dibentuk oleh kekuatan sosio-politik — seperti unit keluarga nuklir dalam kapitalisme.[13]

Saya mungkin terlalu memperluas topik tulisan ini, tetapi yang ingin saya sampaikan dengan ilustrasi kekerabatan ialah suatu makna, dalam kehidupan sehari-hari, memiliki sifat “asli” dalam artian ia dianggap benar atau lumrah, tetapi, di saat yang bersamaan, ada makna-makna lain yang mengelilingi “objek” yang sama; terdapat tensi makna dalam kehidupan kita sehari-hari. Sama halnya dengan teks aturan — apa yang kita pahami mengenai suatu teks aturan acap kali berbeda dengan makna lain (yang lebih dianggap “asli”), tetapi kita, mau tidak mau, harus menerimanya. Tentu, saya tidak bermaksud bahwa posibiltas makna lain tidak mungkin, tetapi dalam praktiknya kita disuguhi dengan tensi makna ini.

Apa hubungannya dengan birokrasi yang efektif? Ide mengenai birokrasi yang efektif bukanlah ide baru. Dalam periode Presiden Jokowi, birokrasi yang efektif juga digadang-gadang oleh kepemimpinannya. Birokrasi yang efektif diamini dalam masa Presiden Jokowi dalam artian, ia selalu diusahakan.[14] Artinya adalah, ada suatu kepercayaan bahwa birokrasi yang efektif adalah hal yang mungkin untuk diwujudkan. Dapat dikatakan, birokrasi yang efektif di sini dilihat sebagai makna tunggal yang saya sebut di atas. Mau tidak mau, kita harus menerima ide ini; setiap hari kita harus berurusan dengan birokrasi. Akan tetapi, kita semua tahu betul bahwa birokrasi adalah hal yang melelahkan dan membingungkan. Yang menjadi masalah ialah, meskipun birokrasi sudah disebut berkali-kali sebagai unit atau perangkat yang “lelet,” kita masih kembali ke birokrasi sebagai perangkat utama dalam mewujudkan gagasan-gagasan politik. Alhasil, suka tidak suka, meskipun kita memiliki makna yang berbeda mengenai birokrasi dengan negara, kita harus menginterpretasi birokrasi sebagaimana negara menginterpretasikannya; sebagai perangkat yang rasional dan “set things in motion.”[15] Jika kita tidak menginterpretasikannya dengan demikian, birokrasi dan masyarakat secara keseluruhan akan runtuh mengingat kehidupan kita sehari-hari dibangun oleh dan melalui birokrasi.[16] Dalam praktiknya kita memang tidak melihat birokrasi sebagai perangkat yang rasional, tetapi kita “disuruh” seakan-akan ia bersifat rasional. Secara tidak langsung, dengan demikian, kita “dipaksa” untuk peduli dengan birokrasi.[17] Izinkan saya memberikan ilustrasi yang mungkin bosan didengar oleh orang-orang yang mengenal saya. Ketika saya ingin membuat KTP sekitar 3 tahun lalu, saya datang ke kelurahan (sebut saja kelurahan X) di mana saya memang terdaftar. Sesampainya saya datang di kantor kelurahan tersebut, petugas setempat mengatakan bahwa saya tidak bisa mengambil foto di kantor ini dan harus mengambil foto di kelurahan lain terdekat (sebut saja kelurahan Y). Saya langsung datang pada hari itu juga karena memang tidak jauh tempatnya. Saya mengatakan bahwa saya ingin membuat KTP dengan catatan saya adalah warga kelurahan X. Saya menunggu dan foto saya diambil beserta sidik jari. Kemudian saya diberi tahu bahwa saya harus melampirkan dokumen-dokumen saya ke kantor kelurahan X. Saya bingung, kalau begitu, kenapa tidak bisa di kantor kelurahan X saja? Mengapa saya harus bolak-balik? Mengeluh tidak akan mengubah apa-apa sehingga saya kembali ke kelurahan X untuk melampirkan dokumen dan mengisi formulir. Kejadian seperti ini saya yakin bukan hanya saya yang mengalami dan ada kejadian-kejadian lain yang lebih melelahkan.

Menariknya adalah kejadian ini diterima begitu saja. Saya bahkan berpikir “mengeluh tidak akan mengubah apa-apa.” Pemikiran seperti ini lahir, saya pikir, karena jika saya tidak menjalankan ini semua, saya tidak akan mendapatkan KTP, dan aktivitas saya ke depan jelas akan terhambat tanpa adanya KTP. Secara tidak langsung, alhasil, saya dipaksa untuk peduli dengan birokrasi yang ada — saya harus mengikuti cara kerja birokrasi dan melanggengkan birokrasi. Saya bisa saja, ketika disuruh kembali ke kantor kelurahan X, untuk pulang saja dan tidak kembali lagi. Namun, ada konsekuensi panjang jika saya melakukan itu. Saya, akhirnya, memutuskan untuk mereproduksi kembali birokrasi dengan berpartisipasi di dalamnya. Itulah kepedulian terhadap birokrasi — praktik-praktik yang melanggengkan birokrasi. Tentu, jika saya pulang pada hari itu, birokrasi akan tetap berjalan; toh, saya hanya satu manusia yang tidak memiliki kontrol signifikan akan birokrasi. Namun, justru di situ menariknya; kita dipaksa peduli akan birokrasi secara kolektif. Secara kolektif, kita mereproduksi (“peduli”) birokrasi dari hari ke hari. Baik PNS, maupun pekerja biasa, kita semua harus peduli dengan perangkat aturan ini; jika tidak, seluruh kehidupan masyarakat kita runtuh.

Namun, ada golongan yang tidak perlu peduli dengan birokrasi. Kelas-kelas elit dapat “mem-bypass” birokrasi dengan mudah. Kelas elit dapat dengan mudahnya melobi negara untuk mengubah perangkat aturan yang dimaksud. Penduduk Rempang, misalnya, yang mengikuti birokrasi dengan menunjukkan dokumen kependudukan mereka yang menempati Rempang sebelum tahun 1973 — sebelum Kepulauan Batam ditetapkan oleh Soeharto sebagai kawasan industri — tidak membuahkan hasil.[18] Negara justru, menggunakan birokrasi sebagai justifikasi penggunaan tanah di Rempang — bahwa hak atas tanah Rempang adalah milik perusahaan, nama yang disebut ialah PT. Makmur Elok Graha.[19] Negara, tanpa memusingkan birokrasi yang ada, menganggap masalahnya ada pada komunikasi yang kurang tepat.[20] Penduduk setempat harus peduli dengan birokrasi — karena tanpanya, seluruh aktivitas mereka akan runtuh — sedangkan kelas elit dapat menggunakan birokrasi tanpa perlu mempedulikan eksistensi birokrasi itu sendiri. Kerja-kerja kepedulian menjaga birokrasi, dengan demikian, didelegasikan kepada kelas-kelas pekerja yang rentan.[21] Kitalah, kelas pekerja, yang setiap hari harus menjaga eksistensi kehidupan sosial kita sehari-hari, alih-alih politisi dengan gagasan-gagasan mereka.

Oleh karena itu, pertanyaan penting untuk menghadapi pemilihan umum 2024 nanti, saya pikir bukan terlalu pada gagasan apa yang para pasangan calon ini tawarkan. Saya tidak menafikan bahwa gagasan yang mereka bawa itu penting, tetapi ada topik yang sangat sentral, tetapi luput. Bagaimana birokrasi ini dikonkretkan dalam praktinya? Siapa yang harus mereproduksi birokrasi ini? Apakah kembali kelas pekerja yang rentan, atau bagaimana? Gagasan mereka yang terlihat indah dalam dokumen GD yang didesain dengan rapih ini, siapa sebetulnya yang mengemban gagasan-gagasan ini dalam praktiknya? Pertanyaan-pertanyaan mengenai birokrasi inilah yang saya pikir perlu muncul ke permukaan, alih-alih terus berputar mengenai gagasan, apalagi partai mana yang mendukung suatu pasangan. Oleh karena itu, dalam tulisan pendek ini, saya pertanyakan kembali: birokrasi yang efektif ini, siapa sebetulnya yang menanggung?

[1] David Graeber, 2015, The Utopia of Rules: On Technology, Stupidity, and the Secret Joys of Bureaucracy, Melville House, p. 153.

[2] J.S. Cooper, 2004, “Babylonian Beginnings: The Origin of the Cuneiform Writing Systems in Comparative Perspective,” dalam The First Writing: Script Invention as History and Process, Cambridge University Press, p. 80.

[3] D. E. Davis, 2016, “Informality and State Theory: Some Concluding Remarks,” Current Sociology, Vol. 65 №2, p. 6.

[4] Gerald M. Bertan & R. Cohen, 1980, Hierarchy and Society: Anthropological Perspectives on Bureaucracy, A Publication of the Institute for the Study of Human Issues, p. 3.

[5] M. M. Khan, 1977, “Bureaucracy: Theoretical Background and Developments,” Indian Journal of Public Administration, Vol. 23 №2, p. 225.

[6] M. W. Jackson, “Marx’s ‘Critique of Hegel’s Philosophy of Right,’” History of European Ideas, Vol. 12 №6, p. 806.

[7] Mark Goodale, 2017, Anthropology and Law: A Critical Introduction, New York University Press, pp. 14–15.

[8] R. Barthes, 1967, “Death of the Author,” Aspen no. 5+6, item 3: Three Essays (archive.org)

[9] David Graeber, 2006, “Turning Modes of Production Inside Out: Or, Why Capitalism is a Transformation of Slavery,” Turning Modes of Production Inside Out | The Anarchist Library

[10] Louis Althusser, 1970, “Ideology and Ideological State Apparatuses: Notes Towards an Investigation,” Ideology and Ideological State Apparatuses by Louis Althusser 1969–70 (marxists.org)

[11] Marshall Sahlins, 2013, What Kinship Is — And Is Not, University of Chicago Press, p. 19.

[12] A. Schrauwers, “Negotiating Parentage: The Political Economy of ‘Kinship’ in Central Sulawesi, Indonesia,” American Ethnologist, Vol. 26 №2, pp. 312–313

[13] Louis Althusser, loc cit.

[14] R. A. Nugroho, 2023, “Nah! Ini Tujuan Besar Jokowi Beberes Birokrasi ASN,” CNBC Indonesia, Nah! Ini Tujuan Besar Jokowi Beberes Birokrasi ASN (cnbcindonesia.com)

[15] M. M. Khan, loc cit.

[16] A. Sharma & A. Gupta, The Anthropology of the State: A Reader, Wiley, p. 7.

[17] Kata peduli di sini mengikuti pengertian care dalam ethics of care; sebuah pandangan yang menekankan pada maintaining dan nurturing — menjaga eksistensi suatu objek atau hal. Pengertian lebih lanjut dapat dibaca: E. D. Buch, 2015, “Anthropology of Aging and Care,” Annual Review of Anthropology, Vol. 44, p. 279.

[18] Y. E. Saptura, 2023, “Masyarakat Adat di Rempang, Ada Sebelum Indonesia,” Mongabay, https://www.mongabay.co.id/2023/09/16/masyarakat-adat-di-rempang-ada-sebelum-indonesia/

[19] CNN Indonesia, 2023, “Duduk Perkara Konflik Pulau Rempang,” Duduk Perkara Konflik Pulau Rempang (cnnindonesia.com)

[20] BBC Indonesia, 2023, “Rempang: ‘Kami Tidak akan Pindah meski Kami Terkubur di Situ,’https://www.bbc.com/indonesia/articles/c1djjmmkp53o

[21] David Graeber, 2006, “Beyond Power/Knowledge: An Exploration of Power, Ignorance, and Stupidity,” Beyond Power/Knowledge | The Anarchist Library

--

--

Althaf Yusfid

“One of the advantages of anthropology as a scholarly enterprise is that no one, including its practitioners, quite knows exactly what it is.” — Clifford Geertz