Behind a Smile: The Story of Capitalism, Neoliberalism, and (a Bit of) Human Creativity

Esai (untuk PPT) Ujian Akhir Semester Antropologi Globalisasi

Althaf Yusfid
27 min readJun 21, 2023

Introduction

Sumber: Japan Times

“The government lifted its mask-wearing guidance Monday, but after three years of COVID-19 pandemic, some people feel a need to practice their smiles and facial expressions before they take them off in public.

— The Japan Times, 14 Maret 2023

Hal yang unik sedang terjadi di Jepang awal tahun ini. Seperti yang bisa dibaca dari kutipan di atas, pemerintah Jepang, akhirnya, menyudahi aturan wajib masker karena pandemi COVID-19. Memang agak telat, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Indonesia yang sudah mengangkat kebijakan ini, setidaknya sejak tahun 2022. Namun, bagian akhir dari kutipan tersebut adalah hal yang paling menarik; bahwa beberapa anggota masyarakat Jepang merasa butuh latihan untuk bersenyum.

Dari beberapa laporan berita, seperti yang diliput oleh The New York Times (15 Mei, 2023), rasa butuh latihan untuk bersenyum didorong, utamanya, oleh lamanya penggunaan masker selama pandemi. Meminjam frasa yang digunakan dalam liputan tersebut, “[A]fter three years and find their facial expression a bit rusty.” Akibatnya, belakangan ini di Jepang, tumbuhlah suatu bisnis tersendiri; bisnis yang menawarkan apa yang diminta oleh orang-orang Jepang ini, kelas bersenyum atau seminar bersenyum. Kelas-kelas ini ditujukan kepada orang-orang yang, sering disebut, lupa cara bersenyum; setidaknya, begitulah The Independent (16 Mei, 2023) menulis headline beritanya. Salah satu peserta kelas ini melaporkan bahwa ia “didn’t have opportunities to see people during the coronavirus and didn’t show my smile to others” (The Independent, 16 Mei, 2023).

Fenomena ini menarik; mengapa Jepang ‘berbeda’? Jika dibandingkan dengan Indonesia, misalnya, meskipun sama-sama terdampak oleh fenomena yang sama, tidak ditemukan adanya ‘kelas bersenyum’ atau ‘seminar bersenyum’. Masker atau tanpa masker, orang-orang di Indonesia tetap bersenyum ketika mereka bertemu dengan orang lain, seperti bertemu kembali dengan rekan kerjanya di kantor. Mengapa orang Jepang sulit untuk menggerakkan ‘otot pipi’-nya?

Apa yang sebetulnya terjadi di Jepang sehingga orang-orang mengatakan I didn’t have opportunities to see people during the coronavirus crisis and didn’t smile in public” (The Guardian, 16 Mei, 2023)?

The Miraculous Japan: High-Speed Growth Era

Sumber: iStock

Untuk memahami apa yang terjadi di Jepang, penting sekiranya untuk memahami konteks yang lebih luas, terutama sistem ekonomi Jepang dan bagaimana ia membentuk perilaku warga Jepang. Pasca-Perang Dunia II, Jepang memang mengalami kehancuran ekonomi. Tidak hanya industri dan negaranya ‘dihancurkan’ oleh pasukan sekutu, terutama oleh Amerika Serikat (AS) dalam Perang Pasifik, Jepang juga dihadapkan dengan perjanjian yang tidak terlalu ‘memihak’ mereka. Akan tetapi, selang beberapa tahun, perekonomian Jepang maju pesat — bahkan kondisi perekonomiannya mirip dengan negara-negara maju di Amerika Utara dan Eropa Barat dengan GDP sekitar 9.4% tiap tahunnya (Fukao dan Settsu, 2021: 111).

Fukao dan Settsu (2021: 115) menuliskan bahwa perkembangan yang ‘menakjubkan’ ini didorong oleh investasi terhadap industri sehingga mendorong peningkatan pendapatan yang kemudian mendorong peningkatan modal karena permintaan yang tinggi dengan adanya pendapatan tersebut. Alhasil, Jepang mengalami tingkat produktivitas yang cukup tinggi pada periode ini — untuk lebih jelasnya, Fukao dan Settsu (2021: 117) menulis

“The HSG [High-Speed Growth] era was characterized by rapid capital accumulation, which contributed to labor productivity growth in the economy as a whole and also generated rapid growth in demand for heavy, chemical, and machinery industry output.”

Perkembangan GDP Jepang. Lihat Periode 1950–1970-an. Sumber: Fukao dan Settsu (2021)

Melalui penjelasan singkat mengenai perekonomian Jepang pasca-Perang Dunia II ini, tidak ada yang ‘spesial’. Hampir seluruh negara yang baru merdeka atau dihadapkan dengan perjanjian oleh sekutu, melakukan industrialisasi, seperti Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan banyak negara lainnya. Lantas, apa hubungannya antara sistem ekonomi ini dengan perilaku warga Jepang?

Production and Reproduction

Sumber: DW

Marx (1981 [1867]: 711) menuliskan bahwa kegiatan produksi perlu dijaga. Artinya adalah kegiatan produksi tidak bisa ‘didiamkan saja’ dari hari ke hari; perlu ada kerja-kerja yang bersifat reproduktif untuk menjaga kondisi produksi agar dapat tetap berjalan esok hari. Kerja-kerja reproduktif ini, menurut Marx, akan mengikuti tujuan dari sistem produksi,

“If production has a capitalist form, so too will reproduction. Just as in the capitalist mode of production thee labor process appears only as a means towards the process of valorization, so in the case of reproduction it appears only as a means of reproducing the value advanced as capital” (1981 [1867]: 711).

Jika sistem produksi bertujuan untuk akumulasi kapital, reproduksi juga bertujuan untuk akumulasi kapital karena tujuan dari reproduksi adalah menjaga produksi tetap berjalan. Pertanyaannya, kemudian, bagaimana sistem produksi ini direproduksi?

Ada banyak cara, tentunya. Namun, utamanya, reproduksi kondisi produksi terjadi di luar kegiatan produksi (Althusser, 2012 [1970]). Bagi Althusser (2012 [1970]) dan juga Marx (1981 [1867]: 712), hal yang paling utama dilakukan untuk mereproduksi kondisi produksi adalah menjaga ‘kesehatan’ dari manusia yang berpartisipasi dalam suatu sistem ekonomi atau sistem produksi. ‘Kesehatan’ di sini tidak perlu dipahami secara harfiah, tetapi menjaga eksistensi dari manusia tersebut agar ia dapat ‘bekerja’ lagi esok hari. Eksistensi ini dapat dimaknai secara luas, salah satunya ialah menjaga keterampilan dan ‘kepatuhan’ manusia dalam suatu sistem produksi (Althusser, 2012 [1970]). Dengan kata lain, suatu sistem produksi perlu menjaga ‘submisi’ dari manusia dalam suatu sistem produksi — untuk lebih jelasnya,

“[T]hat the reproduction of labor-power requires not only a reproduction of its skills, but also, at the same time, a reproduction of its submission to the rules of the established order” (Althusser, 2012 [1970]).

Artinya adalah perlu suatu ‘ideologi’ atau ‘distorsi realitas’ agar manusia tetap hidup dalam suatu sistem produksi. Akan tetapi, bagaimana suatu ideologi ‘dikenalkan’, sebetulnya, kepada manusia yang hidup dalam ideologi tersebut? Salah satunya, kembali mengikuti Althusser (2012 [1970]), adalah melalui aparatus negara atau ‘institusi’ negara yang — jika menggunakan istilah dalam antropologi — ‘meng-enkulturasi’-kan manusia ke dalam suatu ideologi tertentu. Aparatus negara ada banyak bentuknya, salah satunya adalah keluarga.

Family and Production

Sumber: Unsplash

Althusser (2012 [1970]) melihat bahwa banyak perilaku manusia dalam suatu sistem produksi dibentuk, salah satunya, melalui ‘enkulturasi’ yang terjadi di dalam keluarga; dalam kapitalisme, secara tidak langsung, keluarga membentuk seorang subjek yang siap bekerja dalam sistem kapitalisme. Namun, keluarga adalah unit kekerabatan dan sering dikontraskan dengan sistem produksi sehingga, bagaimana ia ikut berkontribusi dalam suatu sistem produksi? Althusser, dalam tulisannya yang lain, menuliskan bahwa dalam suatu masyarakat (atau formasi sosial), tidak mungkin hanya ada satu sistem produksi, melainkan ada berbagai macam sistem produksi dengan satu sistem menjadi dominan (1971: 19). Hal ini karena manusia dapat ‘memodifikasi’ alat dan sistem produksi yang ada sebelumnya, bergantung pada kepentingan ekonomi dan politik yang ada (Althusser, 1971: 23). Akibatnya, ketika ada satu sistem produksi yang ‘dominan’, sistem produksi lain yang ada mengikuti ‘cara kerja’ atau ‘tujuan’ dari sistem produksi yang dominan (Althusser, 1971; Amin, 1979).

Relasi kekerabatan, seperti keluarga, memang dapat dilihat sebagai unit kekerabatan ‘saja’ yang berfungsi memuaskan kebutuhan biologis dan psikologis seseorang atau perihal masalah domestik (tempat ‘lari’ dari kehidupan publik) — seperti yang ditulis oleh Malinowski (1930: 23–24), “To put it clearly, though crudely, I should say that the family is always the domestic institutions par excellence … [that] kinship is, I maintain, invariably individual.” Akan tetapi, Althusser (2012 [1970]) menuliskan bahwa dikotomi publik/privat atau publik/domestik adalah dikotomi borjuasi yang digunakan untuk kepentingan reproduksi sistem produksi sebagai proses othering dan abjecting — membuat suatu ‘dunia’ (dunia domestik) yang menopang ‘dunia borjuasi’ secara ‘diskriminatif’ (Muller, 2019; Nisim dan Benjamin, 2010). Akibatnya, muncul pertanyaan, apakah keluarga memang hanya untuk ‘menghilangkan rasa penat’ dari kehidupan publik? Wolf (1982: 90–91) menuliskan bahwa relasi kerabat tidak hanya masalah moral/simbolis, tetapi juga perihal organisasi sosial, “Kinship can then be understood as a way of committing social labor to the transformation of nature” (p. 91). Implikasinya adalah relasi yang bersifat privat dan individual ini, juga bersifat ‘publik’ dalam artian ia ikut ‘menentukan’ posisi seseorang dalam masyarakat yang lebih luas (Wolf, 1982: 91). Wolf melanjutkan bahwa dengan atribusi posisi ini, dalam suatu unit kekerabatan, seseorang menjadi ‘dipekerjakan’ untuk memproduksi sesuatu — ada yang bertugas satu hal dan bertugas hal lain, bergantung pada ‘status kerabat’-nya,

“Under these conditions the idiom of filiation and marriage is used to construct transgenerational pedigrees, real or fictious. These serve to include or exclude people who can claim rights to social labor on the basis of privileged membership.” (Wolf, 1982: 92).

Alhasil, bagi Wolf (1982; 2001), relasi yang simbolis dan produktif ini tidak perlu dipisahkan secara kaku; bahwa seseorang atau suatu kelompok dapat ‘memanfaatkan’ relasi simbolis untuk kepentingan yang bersifat produktif (Boissevain, 1968). Akibatnya adalah, jika relasi kerabat adalah juga suatu sistem produksi tersendiri, dalam formasi sosial kapitalistis, relasi ini dapat dimanfaatkan untuk menopang jalannya sistem kapitalisme itu sendiri. Alih-alih melihat kapitalisme sebagai rangkaian perusahaan yang membentuk suatu sistem, kapitalisme ditopang oleh ‘stakeholders’ yang tidak terlihat sebagai stakeholders, “In a very real sense, the modern corporation is a great collective … The responsibilities of management can no longer lie solely with the stockholders” (Means, 1969: 20). Dengan kata lain, kapitalisme tidak bisa berdiri hanya dengan ‘hukum permintaan dan penawaran’-nya, melainkan memerlukan intervensi dari aparatus dan institusi non-ekonomi; apa yang disebut sebagai kapitalisme kolektif (Means, 1969: 23).

Alhasil, bagaimana kapitalisme berfungsi memerlukan aspek-aspek yang bersifat non-kapitalistis, tetapi tetap dalam skema kapitalisme (Catephores, 1989: 202) atau kapitalisme berserta institusi kapitalistisnya, perlu berinteraksi dengan institusi non-kapitalis yang menyediakan modal, pekerja, dst., (Means, 1969: 20) salah satunya adalah keluarga yang menopang dan dapat digunakan oleh kapitalis (Wolf, 2001: 174; Boissevain, 1968).

Japan and Capitalism 1: Ie and The Corporate World

Sumber: Homestay in Japan

Keluarga, atau Ie, merupakan aspek yang (sangat) krusial dalam masyarakat Jepang — bahkan, Ochiai (2005: 356) menulis “One result of the tradition is a belief that the ie is so uniquely Japanese that intercultural comparison is impossible.” Ie itu sendiri mulai ‘populer’ semenjak Restorasi Meiji yang, menurut Ochiai (2005), dibentuk mengikuti bentuk keluarga nuklir ala Barat sebagai salah satu proses dalam modernisasi Jepang. Pembentukan Ie ini menyebabkan unit keluarga sebagai unit yang penting dalam perpolitikan dan perekonomian Jepang pada masa itu (Ochiai, 2005). Ie berbentuk layaknya keluarga nuklir pada umumnya; keluarga monogami patriarkal dengan adanya ayah, ibu, dan anak, serta penekanan pada ‘penyembahan’ terhadap pendahulu keluarga mereka (menekankan pada sistem ‘penerus’) (Rajkai, 2017: 1). Pernikahan atau bentuk keluarga ini perlu diakui secara publik; bahwa publik perlu mengakui bahwa sang suami adalah sosok utama dalam keluarga tersebut yang memiliki kekayaan, dan publik diwakili oleh institusi politik (Haruko, 1993: 87). Akan tetapi, karena Ie memiliki peran penting dalam perpolitikan dan perekonomian; bahwa sang ayah bekerja dalam ranah publik, sang istri bekerja di rumah dan mempersiapkan anak untuk ‘menggantikan’ ayahnya bekerja (jika laki-laki) atau untuk ‘menggantikan’ ibunya menjadi ‘ibu yang baik’ (jika perempuan) sehingga pemerintahan Meiji menjadikan Ie sebagai simbol nasional dan tercatat dalam undang-undang (Haruko, 1993; Rajkai, 2017).

Hal ini terlihat seperti keluarga nuklir pada masyarakat kapitalis pada umumnya, tetapi ia menjadi ideologi tersendiri bagi masyarakat Jepang; bahwa menjaga dan melanjutkan Ie adalah perihal ‘utama’ dalam kehidupan manusia (Ochiai, 2005: 355). Meskipun Ie, secara legal, sudah dihapus (Rajkai, 2017), karena ia menjadi ideologi tersendiri, Ie tetap hidup, terutama dalam pengorganisasian organisasi (Ochiai, 2005: 357). Ide ini digunakan dalam korporasi di Jepang (sampai periode tertentu), “unlike ‘Westerners,’ who are encouraged to be self-sustaining and independent, ‘the Japanese’ are allowed or encouraged to be psychologically dependent on family members, friends, or business associates” (Hamada, 2005: 126). Hamada melanjutkan bahwa warna dari kapitalisme Jepang agak berbeda dengan kapitalisme Barat — didukung oleh ‘napas’ Ie (mendukung dan menjaga suatu unit keluarga), kapitalisme Jepang mendorong warga dan pekerjanya untuk menjadi ‘konformis’ dalam artian setia kepada perusahaan dan keluarga (2005: 126).

Akibatnya, terjadi ‘pernikahan’ antara korporasi dengan keluarga — apa yang Allison sebut sebagai “Japan Inc.” (Allison, 2005: 36). ‘Pernikahan’ antara korporasi dan keluarga ini menjadi suatu ‘kontrak sosial’ tersendiri bagi warga Jepang, setidaknya sampai periode 1970-an (Allison, 2013: 22). Alhasil, kesetiaan seorang pekerja kepada perusahaan dan negara tidak menjadikannya ‘membenci’ perusahaan dan negara karena beban kerja yang banyak, melainkan melahirkan ‘rasa bangga’ tersendiri karena sudah ‘memainkan peran’-nya dengan baik (Allison, 2013: 23).

Rasa bangga ini muncul karena ia memiliki ‘identitas’ dan ‘tempat untuk eksis’, “[B]elonging gave the male worker his location in social place; having a job became his identity” (Allison, 2013: 23). Dengan industrialisasi dan perekonomian yang kuat pada periode ini, dapat dikatakan, mayoritas warga Jepang memiliki ‘eksistensi sosial’ dalam kehidupan sosialnya karena jumlah pekerjaan yang memadai — keluarga dan korporasi ‘bekerja sama’ dalam menciptakan relasi sosial dan eksistensi sosial ini, “Working in the present [in Japan Inc., era] then was a project about the future: about staying connected, advancing slowly, building security” (Allison, 2005: 36). Dengan demikian, karena pengangguran berjumlah sedikit; dengan tingkat produktivitas tenaga kerja berada pada angka sekitar 6.8% tiap tahunnya (Fukao dan Settsu, 2021: 113), membuat Jepang sebagai masyarakat yang ‘kuat’ relasi sosialnya, dalam artian warganya merupakan seorang ‘subjek’ — masuk ke dalam ‘skema’ kekuasaan tertentu, skema kapitalisme kolektif ala Jepang dalam kasus ini (Foucault, 1975; Jakimow, 2015).

Japan and Capitalism 2: Economic Stagnation and The Rise of Neoliberalism

Sumber: The Wall Street Journal

Memasuki dekade 1980-an, perekonomian Jepang mengalami beberapa kendala. Salah satu kendala paling utama adalah permasalahan perdagangan dengan AS yang disebabkan oleh lahirnya neoliberalisme di AS atau ‘Reagenomics’ yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara Jepang dan AS; AS dengan defisit ekonominya, dan Jepang dengan surplus (Fukao dan Settsu, 2021: 118). Ketidakseimbangan ini, lebih jelasnya, dibentuk oleh warna perekonomian yang berbeda antara AS dan Jepang; AS yang tidak teregulasi dan Jepang yang cukup teregulasi — dengan ‘tren’ deregulasi di negara maju lainnya dan sistem ekonomi global yang semakin terintegrasi, pasar Jepang menjadi berbeda dan tertinggal (Tsuruta, 1999: 27). Menghadapi hal ini, AS mulai ‘menyuruh’ Jepang untuk ‘mengatur’ perekonomiannya (Tsuruta, 1999: 28).

‘Suruhan’ AS kepada Jepang ini disebabkan oleh naiknya Dollar terhadap Yen sehingga mengimpor barang dari Jepang menjadi murah — dan, dengan Jepang sebagai negara eksportir terbesar pada waktu itu — menyebabkan AS mengalami defisit pengeluaran (Fukao dan Settsu, 2021: 118). Tidak puas dengan defisit ini (karena Reagenomics yang menyebabkan AS perlu memperkecil peran negara), AS ‘menyuruh’ Jepang untuk ‘mengatur’ perekonomiannya sehingga nilai Dollar menurun terhadap Yen (Fukao dan Settsu, 2021: 119). Dengan menurunnya nilai Dollar terhadap Yen, ekspor Jepang ke AS mulai menurun — hal ini merupakan ‘kekacauan’ tersendiri karena, pada era ini, eksport adalah salah satu penyumbang terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Jepang (Fukao dan Settsu, 2021: 119). Hal ini menjadi ‘ancaman’ tersendiri bagi perekonomian Jepang; jika pemain ‘utama’ dalam pertumbuhan ekonomi mereka mulai menurun ‘performanya’, perekonomian mereka juga akan terkena imbasnya — singkatnya, tidak ada uang yang cukup yang berputar.

Oleh karena itu, untuk menghadapi ini, Jepang mengubah kebijakan moneternya, yakni menurunkan bunga agar uang dapat dipinjam dan meningkatkan permintaan domestik (Noguchi, 1994: 297). Penurunan bunga ini merupakan bagian dari deregulasi perekonomian Jepang yang mereka lakukan dalam menghadapi perjanjiannya dengan AS (Hossain dan Rafiq, 2011: 27; Tsuruta, 1999: 27) — deregulasi ini membolehkan Jepang untuk berinteraksi dengan negara-negara lain guna menopang perekonomiannya (Fukao dan Settsu, 2021: 120). Akibat dari penurunan bunga ini adalah, tentu, meminjam uang dari bank adalah hal yang lumrah dan meningkat tiap tahunnya; menyebabkan investasi terhadap sektor real estate, seperti lahan, meningkat secara signifikan; mengingat investasi terhadap sektor ekspor menjadi kurang menguntungkan (Fukao dan Settsu, 2021: 120). Bersamaan dengan deregulasi, hal ini membolehkan, apa yang disebut sebagai, teknik zai-tech; mendapatkan profit dari investasi, alih-alih dari produksi yang menyebabkan banyak perusahaan mengutamakan investasi kepada aset finansial, alih-alih melakukan kerja produktif (Noguchi, 1994: 297).

Kerja yang spekulatif dan pinjaman yang agresif ini melahirkan bubble atau siklus yang menaikkan nilai suatu objek melebihi nilai ‘riil’ dari objek tersebut (Tsuruta, 1999: 32–34). Singkatnya, uang yang berputar dan berasal dari pinjaman ini ‘tidak digunakan’ dalam artian tidak dialokasikan untuk memproduksi sesuatu; uang tersebut tidak produktif (Fukao dan Settsu, 2021: 120). Uang yang eksesif ini menekan Bank Sentral Jepang untuk memperketat kebijakan moneternya karena prediksi inflasi yang berlebih (Itoh et al., 2015: 153), tetapi Bank Sentral Jepang terlambat karena harga sudah terlanjur naik dalam level yang ‘mengerikan’ (Shimizu, 1997: 44). Alhasil, karena kebijakan moneter yang diambil, bubble yang berkembang akhirnya pecah karena ‘menganggu’ jalannya investasi dan spekulasi yang tengah berjalan (Tsuruta, 1999: 34). Dengan kebijakan yang ketat ini, uang tidak bisa mengalir dan uang yang sebelumnya mengalir tidak jatuh kepada warga Jepang umumnya; melahirkan deflasi dan stagnasi (Tsuruta, 1999: 35).

Perkembangan GDP Jepang. Lihat penurunan GDP memasuki periode awal 1990-an. Sumber: Fukao dan Settsu (2021).

Tentu, Jepang perlu ‘memutar otak’ untuk menyelesaikan masalah ini. Salah satu upaya yang diambil adalah mengadopsi kebijakan yang bernada neoliberal untuk membuat negara — yang sebelumnya sudah kecil — menjadi semakin kecil (Hirashima, 2004: 37). Adopsi kebijakan neoliberal ini menjadikan Jepang memiliki anggaran yang ketat, dalam artian mereka ‘menghemat’ pengeluaran negara mereka untuk memperbaiki perekonomian atau melakukan apa yang disebut sebagai austerity (Hirashima, 2004: 38). Menghadapi bubble yang pecah ini, Jepang menyerahkan ‘tanggung jawab’ kepada individu untuk ‘menanggung’-nya (Allison, 2013: 28). Kebijakan dengan warna ini mendapatkan tempat yang ‘mantap’ dalam perpolitikan dan perekonomian Jepang pada masa kepemimpinan Koizumi — kebijakan yang diambil Koizumi, seperti ditulis oleh Hirashima (2004: 39), “[W]ere expected to entail large-scale unemployment.” Akibatnya, Jepang mengalami perubahan perekonomian yang signifikan. Meskipun sistem produksi atau sistem ekonomi mereka masih bernada kapitalis, relasi sosial dalam sistem produksi mengalami perubahan mode (Graeber, 2006); transisi dari relasi yang bersifat kolektif menuju relasi yang bersifat ‘laissez-faire’; seperti yang ditulis oleh Ganti (2014: 91) bahwa neoliberalisme melahirkan “a mode of governing that embraces the idea of the self-regulating free market, with its associated values of competition and self-interest.” Dengan kata lain, warga Jepang tidak lagi bisa mengandalkan ‘orang lain’; ia perlu untuk mengandalkan dirinya sendiri. Jepang melihat bahwa sistem Ie dalam pengorganisasian ekonominya merupakan sistem yang “hinder individuals from exercising initiative and developing entrepreneurship” sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi (Allison, 2005: 41).

Singkatnya, negara tidak mau menghadapi masalah deflasi dan stagnasi yang disebut di atas. Graeber (2009) menulis bahwa AS berhasil menjadikan neoliberalisme sebagai ideologi ‘standar’ dalam tingkat global karena krisis minyak yang terjadi pada tahun 1980-an. Meskipun Jepang awalnya adalah salah satu negara yang berbeda — dalam artian, Jepang merupakan satu-satunya negara maju yang seringkali beroposisi dengan AS dalam perekonomian (dilihat dari sistem kapitalisme kolektifnya); ‘melawan’ pendekatan neoliberal dalam perekonomian (Lee, 2008), melihat deflasi dan stagnasi yang terus berlanjut membuat Jepang menginginkan dan membutuhkan alternatif — dan neoliberalisme adalah alternatif tersebut mengingat neoliberalisme adalah ‘lawan’ dari kapitalisme Jepang yang belum ‘dicoba’ (Nishizawa dan Ikeda, 2017: 159).

Collective Capitalism, Neoliberal Capitalism; The Type of Life the Two Create in Tension

Sumber: The Japan Times

Restrukturisasi perekonomian Jepang bukan hanya perihal pertumbuhan ekonomi, tetapi juga perihal perubahan subjek. Pergeseran struktur ekonomi membuat warga Jepang mulai ‘kehilangan dirinya’. Warga Jepang, yang sebelumnya menjadi ‘subjek’ dengan menjadi pekerja, mulai kehilangan identitas tersebut; satu per satu warga Jepang mengalami ‘kematian sosial’ (Allison, 2013). Meski sistem Ie mulai ditinggalkan dalam era neoliberal ini, ideologi Ie ala kapitalisme kolektif periode sebelumnya masih tetap hidup; kembali kepada Wolf (1982) dan Althusser (1971) yang menyebut bahwa suatu mode produksi tidaklah ‘mati’ ketika satu mode produksi baru menjadi dominan, melainkan ‘hidup berdampingan’ mengikuti arah mode produksi yang dominan ini. Hal ini dikemukakan oleh Alexy (2019) yang menyampaikan bahwa, dalam Jepang yang neoliberal, ‘kehidupan Ie’ menjadi bentuk ‘ideal’ yang perlu dicapai secara mandiri “Such common tropes of family roles continue to impact Japanese people today, even as families are reshaped in light of the falling birthrate, aging population, later marriages, and changing patterns of divorce” (p. 10). Ideologi Ie, dapat dilihat, ‘diapropriasi’ oleh kebijakan neoliberal; alih-alih ia menjadi suatu ‘kehidupan yang nyata’ bagi warga Jepang, seperti yang terjadi pada periode kapitalisme kolektif, ia dijadikan sebagai suatu ‘idealitas’ tersendiri untuk ‘memandu’ warga Jepang dalam era neoliberal ini; melahirkan suatu tensi yang membentuk kehidupan baru.

Kehidupan baru yang dimaksud ini berhubungan dengan bagaimana mode produksi melahirkan suatu subjek. ‘Mode produksi’ yang neoliberal ini melahirkan subjek baru; mengubah ‘skema kekuasaan’ yang disebut sebelumnya (Graeber, 2006). Jika ‘mode produksi’ dalam kapitalisme kolektif melahirkan subjek berbentuk ‘sarariman’ atau orang yang setia kepada perusahaan dan keluarga, serta kuat relasi sosialnya, ‘mode produksi’ neoliberal melahirkan subjek yang prekariat, atau mereka yang tidak memiliki kepastian dalam bekerja dan ‘kesepian’ (Allison, 2005; 2013). Graeber (2006: 70) menulis bahwa tujuan utama dari suatu mode produksi adalah pembentukan suatu subjek — pembentukan manusia, karena manusia yang bekerja-lah yang menghasilkan komoditas dan kekayaan yang ada dan juga, “[I]n reality wealth has no meaning except as a medium for the growth and self-realization.” Hal ini dibentuk melalui relasi sosial yang ada dalam sistem produksi (Graeber, 2006; 2013a) — jika relasi sosialnya bersifat kolektif, lahirlah subjek yang kolektif, begitu pula dengan relasi yang bersifat ‘laissez-faire’; “[T]hat even such apparently mundane activities … encode symbolic structures [such as] male/female — which tend to recur … or conceptions of the nature of the cosmos as a whole” (Graeber, 2006: 72). Kedua ‘archetype’ subjek ini, seperti ditulis di atas, tidaklah bersifat antagonis, melainkan saling melengkapi (Althusser, 1971; Wolf, 1982). Alhasil, dengan adanya interaksi antara dua ‘jenis’ subjek ini, warga Jepang mengalami kesepian; di satu sisi, ia adalah entitas yang kolektif (membutuhkan dependensi terhadap pihak lain yang intens), tetapi di sisi lain, ia juga adalah entitas yang independen — perlu bekerja ‘untuk dirinya sendiri’ (Allison, 2005; 2013); mereka membutuhkan keluarga untuk kebutuhan produksinya, tetapi juga tidak di saat yang bersamaan’ tensi yang disebut pada bagian sebelumnya.

Dengan pekerjaan yang tidak pasti, minimnya lapangan pekerja, dan sebagainya, warga Jepang menjadi pekerja yang prekariat; yang berimplikasi terhadap minimnya pernikahan, angka kelahiran, dan seterusnya karena tidak memiliki sumber daya yang memadai (Allison, 2013: 30). Pekerja Jepang, akibatnya, tidak memiliki safety net, baik dalam bentuk yang ditawarkan korporasi maupun keluarga (Allison, 2013: 32). Alhasil, dengan adanya tensi antara Ie sebagai suatu bentuk welfare dan sulitnya mencapai Ie, kehidupan menjadi hal yang ‘menyeramkan’ bagi warga Jepang; mereka perlu menghadapi kehidupan ‘sendiri’, tetapi dalam bayang-bayang ‘kolektif’ (Allison, 2013: 33). Jika ditulis dalam kerangka psikoanalisis, Ie menjadi suatu objek untuk desire; desire muncul justru karena kemustahilan untuk mencapai atau mendapatkan objek tersebut (Allison, 1994: 469). Hal yang muncul dalam kondisi psikologis seseorang, atau dalam ‘ketidaksadaran’ manusia, tidak muncul secara individual, melainkan didorong oleh aspek-aspek yang interseksional yang berasal dari aspek yang bersifat sosial (politik dan ekonomi salah satunya) (Adkins, 2015: 9). Oleh karena itu, kondisi warga Jepang yang ‘menarik diri’ (hikikomori, NEET, dsb.) dibentuk oleh tensi antara kapitalisme kolektif dan kapitalisme neoliberal di Jepang. Warga Jepang atau pekerja Jepang menjadi entitas yang tidak mengenal satu sama lain, tetapi memiliki desire untuk mengetahui satu sama lain. Jika menggunakan skema yang ditulis oleh Graeber (2006: 78), warga Jepang ‘dipisahkan’ dari status kehidupan sebelumnya dan diberi status baru yang berbeda,

The result is often described as ‘social death’ … they are shorn of all previous status within their former communities, they have no right to social relations, no right to kinship or citizenship, or any social relation.”

Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa warga Jepang disebut “not taking part in society” (Alexy, 2019: 16) karena tidak adanya relasi sosial yang membolehkan hal itu terjadi, tetapi diiringi dengan rasa cemas mengenai sosialitas itu sendiri akibat bayang-bayang sejarah (Wolf, 1982: 5–6).

Smile and Capitalization of It

Sumber: The Japan Times

Dengan minimnya ‘solidaritas sosial’ dalam kehidupan sosial di Jepang, tidak mengherankan bahwa mereka ‘jarang bersenyum’ satu sama lain. Allison (2005: 45) bahkan menyebut bahwa Jepang adalah ‘relationless society’ karena warga Jepang berada pada “a condition of the isolation from others and from mechanisms for care and support.” Kehidupan yang memiliki relasi menjadi kehidupan yang ‘mahal’ bagi kebanyakan warga Jepang. Alhasil, tidak sedikit berita mengenai apa yang disebut sebagai ‘lonely death’ di Jepang di mana mayat ditemukan membekam di kamar berbulan-bulan tanpa ada yang ‘mengurusnya’ (Allison, 2005; 2013; 2023). Kematian memang contoh yang ekstrem, tetapi hal ini menunjukkan bagaimana ‘kesepiannya’ kebanyakan warga dan pekerja Jepang. Allison (2005: 43) mengatakan bahwa kesepian ini adalah bentuk ‘kesakitan’ atau pain tersendiri bagi warga Jepang yang ‘tercatat’ dalam regulasi hukum; tercatat dalam dokumen yang dibentuk oleh suatu organisasi yang ‘rasional’ (Bierschenk dan de Sardan, 2019: 243). Kondisi ini menjadi suatu hal yang tetap dalam birokrasi — menjadi hal yang ‘lumrah’ (Graeber, 2015: 5) bagi sebagian besar warga Jepang.

Hal ini diperkuat dengan adanya pandemi COVID-19 yang semakin memperkecil ‘ruang sosial’ bagi warga Jepang — memperkuat intensitas ‘kesakitan’ yang disebut sebelumnya, dan memperkuat efek dari birokrasi tersebut — memang, seperti yang ditulis oleh Graeber (2009), neoliberalisme, meskipun mengutamakan logika pasar, justru menghadirkan birokrasi yang besar karena pasar membutuhkan uang yang merupakan alat untuk ‘mengawasi’ jalannya transaksi secara formal sehingga perlu suatu aparatus untuk menjalankan ini (Graeber, 2011). Dengan ‘birokrasi pasar’ yang besar ini dan logika neoliberal yang menjadikan hampir seluruh aspek kehidupan manusia ke dalam logika pasar bebas (Ganti, 2014), semuanya perlu dilakukan dalam kerangka ‘bisnis’, atau anggapan bahwa “[T]hat not only is capitalism the only viable political and economic system, but also that it is now impossible even to imagine a coherent alternative to it” (Fisher, 2009).

Akibatnya, senyum, hal yang sebetulnya ‘dimiliki secara fisik’ oleh tiap manusia yang ada, dapat ‘direnggut’ melalui logika pasar; ia diambil oleh pasar dan dikembalikan pula oleh pasar. Senyum, tentu, memiliki banyak makna; ia tidak selalu memiliki makna yang ‘ramah’ bergantung pada konteks bagaimana senyum itu dikeluarkan (Hall dan Hall, 2016: 28). Namun demikian, mengikuti laporan berita yang ada, kelas senyum ini ditujukan untuk bersenyum secara ‘tulus’ (Firstpost, 16 Mei, 2023). Akan tetapi, dalam berita yang sama, dilaporkan bahwa “Japanese are turning to experts — professionals who can teach them how to wear the right expression and the perfect smile.” Hal ini menarik karena, secara tidak langsung, kalimat tersebut menyampaikan bahwa ‘ada’ cara senyum yang ‘tepat’. Artinya adalah orang Jepang mencari senyum yang tulus dan tepat. Graeber (2013b) pernah menulis

“If 1% of the population controls most of the disposable wealth, what we call ‘the market’ reflects what they think is useful or important, not anybody else.”

Implikasinya adalah, karena kelas senyum ini adalah hal yang dikomodifikasi — berada dalam pasar (Vanguard, 6 Juni, 2023), apa yang dimaksud dengan ‘senyum yang tepat’ merefleksikan apa yang ‘penguasa pasar’ pikir mengenai bentuk ‘senyum yang tepat’. Dengan kata lain, kelas senyum ini menyimulasikan senyum — menganggap apa yang dipikirkan oleh para ‘profesional’ ini sebagai hal yang nyata (Graeber, 2014b).

Tentu, kita bisa berdebat mengenai apakah senyum yang tepat itu ada atau tidak secara ontologis, tetapi, inti yang ingin disampaikan adalah bahwa bersenyum tidak lagi dibentuk dari suatu hal yang ‘riil’; dari relasi antarmanusia, melainkan dari suatu model (Baudrillard, 2010) yang dibentuk oleh para ‘profesional’. Kelas-kelas ini menawarkan etos neoliberal yang dikemas dalam etos Ie — disiplin atas diri sendiri untuk bersenyum guna berhubungan dengan orang lain secara ‘baik’. Bersenyum, akibatnya, diserahkan kepada pasar, alih-alih kepada kerabat,

“[The system] no longer available or adequate for an increasing fraction of the population, the market offers replacements and alternatives for the kin once counted on to carry out the job (Allison, 2023: 14).

Untuk bersenyum, dengan demikian, memerlukan suatu logika yang rasional, alih-alih dilakukan karena ‘kemanusiaan’ (Graeber, 2014a).

Is It Really That Bleak? Or, Neoliberalism Strikes Back

Sumber: The Japan Times

Namun, jika dipikir dengan seksama, mengapa warga Jepang perlu bersenyum? Apabila kehidupan Jepang memasuki dekade 80 dan 90-an sampai sebelum pandemi memang diselimuti dengan kesepian (yang bahkan sudah menjadi suatu ‘birokrasi’) tersendiri, mengapa perlu ada kebutuhan untuk bersenyum kembali jika sebelumnya sudah jarang bersenyum? Relationless memang menyebalkan dan menyakitkan, tetapi bukankah itu ‘realitas’ atau ‘ideologi’ di mana masyarakat Jepang hidup?

Pada satu sisi, fenomena ini dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi neoliberalisme dalam ‘mempertahankan’ dirinya setelah ‘diguncang’ oleh pandemi COVID-19. Hal ini dapat dianalogikan dengan apa yang disebut sebagai multikulturalisme neoliberal; sebuah upaya mempromosikan ‘keberagaman budaya’ atas nama pasar,

“The goal of neoliberal multiculturalism is not a tolerant national citizen who is concerned for the disadvantaged in her own society but a cosmopolitan market actor who can compete effectively across state boundaries” (Kymlicka, 2013: 112).

Dengan pandemi COVID-19 mendisrupsi ritme kehidupan, warga Jepang ‘dipaksa’ untuk memperkecil ‘lingkar sosial’-nya (Clark, 2021: 4) sehingga membuat hampir segala hal menjadi kacau; sebagai ilustrasi, Nishi (2020: 1) menulis, “Kayo Takashi, a mother of an autistic daughter, wrote in one of her Facebook posts that they were ‘on the verge of collapse’ after the local special-needs school was closed down.” Hal ini memunculkan cara-cara hidup baru, seperti kesetaraan gender yang mulai ditingkatkan melalui praktik-praktik yang dilakukan oleh warga Jepang (dalam batas tertentu, tentunya) (Ishii-Kuntz, et al., 2021: 7). Untuk menjaga berdirinya neoliberalisme, melalui perspektif ini, masuk akal bagi neoliberalisme, pasca-pandemi, untuk mengadopsi bentuk-bentuk baru ini agar ia tetap bertahan (Kymlicka, 2013: 110).

. . . Maybe Not: Or, A New Hope

Sumber: Nippon.com

Namun, fenomena yang sama dapat dilihat dalam perspektif yang berbeda. Hal ini bukan mengatakan bahwa neoliberalisme ‘tidak ada’ karena warga Jepang tetap hidup dalam kerangka neoliberal (hal ini tidak bisa dipungkiri begitu saja). Seperti yang sudah ditulis, kehidupan yang ‘sepi’ dalam masyarakat Jepang sudah menjadi ‘aturan’ tersendiri; menjadi bagian dari birokrasi yang menavigasikan kehidupan warga Jepang — meskipun menyebalkan, ia bersifat prediktif dalam artian bahwa warga Jepang ‘tahu’ bahwa kehidupannya memang ‘sepi’ (Graeber, 2015: 152). Akan tetapi, meskipun demikian, bukan berarti warga Jepang tidak bisa bermain dengan kerangka aturan ini; seperti yang ditulis oleh Ong (2007: 4) bahwa neoliberalisme tidak hanya merupakan ‘aturan’, tetapi juga ‘fondasi logika’ yang dapat ‘digunakan’ oleh manusia yang hidup di dalamnya. Graeber (2015: 181) menulis bahwa hidup secara ‘bebas’ adalah ‘fantasi’ manusia; disebut fantasi karena manusia sejatinya hidup dalam suatu aturan. Implikasinya ialah bahwa hidup dalam aturan, meskipun memang menyebalkan, merupakan suatu ‘keharusan’ tersendiri karena fantasi mengenai hidup bebas adalah negasi dari hidup dalam aturan — analogi yang sama dapat dibuat dengan kembali ke skema psikoanalisis di atas (Graeber, 2015: 181).

Akibatnya, sadar atau tidak sadar, manusia sebetulnya ‘butuh’ dan ‘suka’ dengan aturan karena hidupnya menjadi tersusun dengan rapih (Graeber, 2015: 191). Inilah hal yang dibawa oleh neoliberalisme sebagai suatu sistem yang menjadi kerangka aturan dalam suatu masyarakat. Namun, neoliberalisme juga adalah ‘fondasi logika’ yang ‘open-access’. Artinya adalah bahwa manusia bukanlah entitas yang ‘uni-dimensional’, melainkan multi-dimensional. Hal ini karena manusia, meskipun ‘suka’ hidup dalam aturan, ia juga ‘tidak suka’ hidup dalam aturan dalam waktu yang bersamaan (negasi yang disebut sebelumnya). Dengan kata lain, manusia ingin membuat aturannya sendiri (Graeber, 2015: 192). Alhasil, terdapat tensi antara aturan dan ‘pemberontakan’; aturan adalah suatu bentuk utopia yang ‘didambakan’, tetapi manusia juga entitas kreatif yang ingin ‘bereksperimen’ dengan aturan (Graeber dan Wengrow, 2021). Akibatnya, manusia yang hidup dalam satu kerangka tertentu, meskipun tidak bisa ‘menghapus’ kerangka tersebut, dapat menciptakan ‘kerangka sendiri’ —

“There is no language without grammar. But there is also no language in which everything, including grammar, is not constantly changing all the time” (Graeber, 2015: 200).

Dengan demikian, meskipun hidup tanpa senyum adalah hal yang ‘lumrah’ bagi warga Jepang, tidak berarti mereka harus menerimanya begitu saja; mereka dapat bereksperimen dengan senyum menggunakan sumber daya yang ada. Terlebih lagi, struktur Ie yang ada sebelumnya, meskipun sekarang hidup dalam ‘periphery’ dalam kehidupan sosial Jepang, tetap ada (Wolf, 1982; Althusser, 1971; Ortner, 2006) dan berinteraksi dengan struktur neoliberalisme sehingga bentuk kehidupan yang ‘full of relation’ dapat berinteraksi dengan kehidupan yang ‘relationless’; bahwa warga Jepang dapat memanfaatkan struktur Ie untuk bermain dengan struktur neoliberal (Jakimow, 2015; Foucault, 1988) sehingga menghasilkan kontradiksi yang menarik; yang dalam kasus ini diwujudkan melalui kelas bersenyum. Hal ini tidak berarti bahwa manusia bebas dalam artian libertarian — mereka tetap terkekang dalam aturan neoliberal, tetapi mereka dapat ‘menghancurkan’ atau ‘bermain’ dengan aturan tersebut, seperti yang ditulis Graeber

“Freedom, then, really is the tension of the free play of human creativity against the rules it is constantly generating” (2015: 199).

Mereka tidak ‘mau’ bebas dari kerangka neoliberal, tetapi mereka juga ‘mau menghancurkan’ kerangka neoliberal. Dengan demikian, meskipun kelas ini didesain sebagai suatu ‘bisnis’ (didesain dalam kerangka neoliberal), tetapi warga Jepang tetap dapat mengetahui

“How important smiling is” (The Guardian, 16 Mei, 2023).

Daftar Referensi

Adkins, Brent

2015 Deleuze and Guattari’s a Thousand Plateaus: A Critical Introduction and Guide. Edinburgh University Press.

Alexy, Allison

2019 Introduction: The Stakes of Intimacy in Contemporary Japan. In Intimate Japan: Ethnography of Closeness and Conflict. Allison Alexy and Emma E Cook, eds. Pp. 1–34. University of Hawaii Press.

Allison, Anne

1994 Transgression of the Everyday: Stories of Mother-Son Incest in Japanese Popular Culture. Positions 2(3): 467–499.

2005 Precarity and Hope: Social Connectedness in Postcapitalist Japan. In Japan: The Precarious Future. Frank Baldwin and Anne Allison, eds. Pp. 36–57. New York: New York University Press.

2013 Precarious Japan. Durham: Duke University Press.

2023 Being Dead Otherwise. Duke University Press.

Althusser, Louis

1971 On the Reproduction of Capitalism: Ideology and Ideological State Apparatuses. London: Verso.

2012 [1970] Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation). In Mapping Ideology. Slavoj Žižek, ed. London: Verso. Ideology and Ideological State Apparatuses by Louis Althusser 1969–70 (marxists.org)

Amin, Samir

1979 Unequal Development: An Essay on the Social Formations of Peripheral Capitalism. Delhi Oxford Univ. Pr.

Baudrillard, Jean

2010 Simulacra and Simulation. Ann Arbor: The University of Michigan Press.

Bierschenk, Thomas, and Jean-Pierre Olivier de Sardan

2019 How to Study Bureaucracies Ethnographically? Critique of Anthropology 39(2): 243–257.

Boissevain, Jeremy

1968 The Place of Non-Groups in the Social Sciences. Man 3(4): 542.

Catephores, Georges

1989 An Introduction to Marxist Economics. Palgrave.

Clark, Laura Emily

2022 Embodied Consequences, Doing Jishuku and Staying Home: Literary Depictions of Japan’s Covid-19 Disaster Response. Gender, Place & Culture: 1–16.

Firstpost

2023 Why the Japanese Are Taking Lessons on How to Smile. Firstpost. https://www.firstpost.com/explainers/japan-mask-mandate-covid19-pandemic-smile-training-12605002.html, accessed June 14, 2023.

Fisher, Mark

2009 Capitalist Realism: Is There No Alternative? Winchester: Zero Books.

Foucault, Michel

1975 Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books.

1988 Technologies of the Self: A Seminar with Michel Foucault. London: Tavistock.

Fukao, Kyoji and Tokihiko Settsu

2021 Japan: Modern Economic Growth in Asia. In The Cambridge Economic History of the Modern World: Volume 2, 1870 to the Present. Stephen Broadberry and Kyoji Fukao, eds. Pp. 100–128. Cambridge University Press.

Ganti, Tejaswini

2014 Neoliberalism. Annual Review of Anthropology 43(1): 89–104. https://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev-anthro-092412-155528.

Graeber, David

2006 Turning Modes of Production inside Out: Or, Why Capitalism Is a Transformation of Slavery. Critique of Anthropology 26(1): 61–85.

2009 Neoliberalism: Or, the Bureaucratization of the World. In The Insecure American: How We Got Here and What We Should Do about It. Hugh Gusterson and Catherine Lowe Besteman, eds. Berkeley: University of California Press. https://theanarchistlibrary.org/library/david-graeber-neoliberalism.

2011 Debt: The First 5,000 Years. Brooklyn, Ny: Melville House.

2013a It Is Value That Brings Universes into Being. HAU: Journal of Ethnographic Theory 3(2): 219–243.

2013b On the Phenomenon of Bullshit Jobs. STRIKE! Magazine. http://www.strikemag.org/bullshit-jobs/, accessed June 14, 2023.

2014a What’s the Point If We Can’t Have Fun? The Baffler. https://thebaffler.com/salvos/whats-the-point-if-we-cant-have-fun.

2014b Of Flying Cars and the Declining Rate of Profit. The Baffler. https://thebaffler.com/salvos/of-flying-cars-and-the-declining-rate-of-profit.

2015 The Utopia of Rules: On Technology, Stupidity, and the Secret Joys of Bureaucracy. Brooklyn, N.Y.; London: Melville House Publishing.

Graeber, David and David Wengrow

2021 The Dawn of Everything: A New History of Humanity. New York Farrar, Straus and Giroux.

Hall, Edward T, and Mildred R Hall

2016 The Sounds of Silence. In Classic Readings in Cultural Anthropology. Gary Ferraro, ed. Pp. 27–36. Cengage Learning.

Hamada, Tomoko

2005 The Anthropology of Japanese Corporate Management. In A Companion to the Anthropology of Japan. Jennifer Robertson, ed. Pp. 125–152. Malden, Ma: Blackwell Pub.

Haruko, Wakita

1993 Women and the Creation of the “Ie” in Japan: An Overview from the Medieval Period to the Present. U.S.-Japan Women’s Journal. English Supplement(4): 83–105. https://www.jstor.org/stable/42772054.

Hirashima, Kenji

2004 Regime Shift in Japan? Two Decades of Neoliberal Reforms. Swiss Political Science Review 10(3): 31–54.

Hossain, Monzur, and Farhana Rafiq

2011 Asset Price Bubble and Banks: The Case of Japan. The Bangladesh Development Studies 34(1): 23–38.

Ishii-Kuntz, Masako, Guro Korsnes Kristensen, and Priscilla Ringrose

2021 Introduction: Comparative Perspectives on Gender in Japan and Norway. In Comparative Perspective on Gender Equality in Japan and Norway: Same but Different? Pp. 1–11.

Itoh, Masanao, Ryoji Koike, and Masato Shizume

2015 Bank of Japan’s Monetary Policy in the 1980s: A View Perceived from Archived and Other Materials. Monetary and Economic Studies, Institute for Monetary and Economic Studies, Bank of Japan 33: 97–200.

Jakimow, Tanya

2015 Decentering Development: Understanding Change in Agrarian Societies. London: Palgrave Macmillan Uk.

Kymlicka, Will

2013 Neoliberal Multiculturalism? In Social Resilience in the Neoliberal Era. Peter A. Hall & Michèle Lamont, eds. Cambridge University Press: 99–126.

Lee, Yong Wook

2008 The Japanese Challenge to Neoliberalism: Who and What Is “Normal” in the History of the World Economy?. Review of International Political Economy 15(4): 506–534.

Malinowski, Bronislaw

1930 Kinship. Man 30: 19–29.

Marx, Karl

1981 [1867] Capital: Volume 1. Harmondsworth: Penguin in Association with New Left Review.

Means, Gardiner C.

1969 The Problems and Prospects of Collective Capitalism. Journal of Economic Issues 3(1): 18–31.

Müller, Beatrice

2019 The Careless Society — Dependency and Care Work in Capitalist Societies. Frontiers in Sociology 3(44): 1–10.

Nishi, Makoto

2020 Jishuku, Social Distancing and Care in the Time of COVID‐19 in Japan. Social Anthropology: 1–2.

Nishizawa, Tamotsu, and Yukihiro Ikeda

2017 Liberalism and the Welfare State: Economists and Arguments for the Welfare State. In Liberalism and the Welfare State: Economists and Arguments for the Welfare State. Roger E Backhouse, Bradley W Bateman, Tamotsu Nishizawa, and Dieter Plehwe, eds. Pp. 75–100. Oxford University Press.

Nisim, Sarit, and Orly Benjamin

2010 The Speech of Services Procurement: The Negotiated Order of Commodification and Dehumanization of Cleaning Employees. Human Organization 69(3): 221–232.

Noguchi, Yukio

1994 The “Bubble” and Economic Policies in the 1980s. Journal of Japanese Studies 20(2): 291.

Ochiai, Emiko

2005 The Ie (Family) in Global Perspective. In A Companion to the Anthropology of Japan. Jennifer Robertson, ed. Pp. 329–354. Malden, Ma: Blackwell Pub.

Ong, Aihwa

2007 Neoliberalism as a Mobile Technology. Transactions of the Institute of British Geographers 32(1): 3–8.

Ortner, Sherry B

2006 Anthropology and Social Theory: Culture, Power, and the Acting Subject. Durham: Duke University Press.

Rajkai, Zsombor

2017 Ie (Japanese Family System). The Wiley-Blackwell Encyclopedia of Social Theory: 1–2.

Shimizu, Yoshinori

1997 Speculative Bubbles, Depression and the Monetary Policy in Japan. Hitotsubashi Journal of Commerce and Management 32(1 (32)): 23–58. https://www.jstor.org/stable/43294964, accessed June 16, 2023.

The Guardian

2023 Grin and Bare It: As Mask Mandates End Japan Turns to Tutors to Relearn How to Smile. The Guardian, May 16. https://www.theguardian.com/world/2023/may/16/grin-and-bare-it-as-mask-mandates-end-japan-turns-to-tutors-to-relearn-how-to-smile, accessed June 14, 2023.

The Independent

2023 Japanese People “Have Forgotten How to Smile.” The Independent, May 15. https://www.independent.co.uk/asia/japan/smile-practice-seminars-japan-masks-covid-b2338893.html, accessed June 14, 2023.

The Japan Times

2023 Remembering How to Smile? Japan Training Sessions Help Prepare for Life after Masks. The Japan Times, March 14. https://www.japantimes.co.jp/news/2023/03/14/national/smile-training-popularity-no-masks/, accessed June 14, 2023.

The New York Times

2023 Japan Is Unmasking, and Its Smile Coach Is Busy. The New York Times, May 15. https://www.nytimes.com/2023/05/15/world/asia/japan-covid-smiling-lessons.html, accessed June 14, 2023.

Tsuruta, Hiromi

1999 The Bubble Economy and Financial Crisis in Japan: Financial Deregulation, Globalization, and Financial Administration. International Journal of Political Economy 29(1): 26–48.

Vanguard

2023 Japanese Pay $55 per Hour to Learn Smiling. Vanguard, June 6 https://www.vanguardngr.com/2023/06/japanese-pay-55-per-hour-to-learn-smiling/, accessed 14 June 2023.

Wolf, Eric

1982 Europe and the People without History. Berkeley, Calif.: University of California Press.

2001 Kinship, Friendship, and Patron-Client Relations in Complex Societies. In Pathways of Power: Building an Anthropology of the Modern World Pp. 166–183. Berkeley, Calif.: University of California Press.

--

--

Althaf Yusfid

“One of the advantages of anthropology as a scholarly enterprise is that no one, including its practitioners, quite knows exactly what it is.” — Clifford Geertz