Apolitis atau Anti-politis?

Althaf Yusfid
8 min readAug 27, 2023
Sumber: Detik

Tahun Politik dan Masalah yang Sama

Tahun politik kurang dari satu tahun lagi. Berbagai macam spanduk dan banner kampanye politik sudah bertebaran di mana-mana, bahkan jauh sebelum tahun 2023. Layaknya tahun-tahun politik sebelumnya, tahun ini muncul pertanyaan, atau tepatnya, masalah yang sama; generasi muda “melek” politik. Remaja usia 17 tahun dan awal 20 tahun sedang mengalami kebingungan, memilih siapa? Atau, lebih tepatnya, perlukah kita memilih?

Ada kesan bahwa anak-anak remaja (termasuk saya, tentunya) tidak “melek” politik. Ada imaji bahwa orang-orang dalam range usia ini, meskipun merupakan kategori pemilih yang krusial, seperti tidak memahami “stake” yang ada — bahwa mereka merupakan salah satu “pemain utama” yang mengarahkan negeri ini. Dalam satu sisi, memang ada benarnya — bahwa kita, remaja-remaja, belum memiliki pengalaman yang cukup banyak menghadapi pemilihan umum (pemilu), terutama pemilu presiden. Jika berkaca pada pengalaman saya, pemilu yang baru saya jalani adalah pemilu wali kota Depok yang saya sendiri juga tidak ingat dilaksanakan pada tahun berapa. Beberapa remaja bahkan belum pernah mencicipi pemilu sama sekali — tentu bergantung dari domisili tempat mereka tinggal.

Oleh karena itu, banyak “gerakan-gerakan” yang mencoba membangkitkan “semangat” politik atau “kesadaran” politik, baik dari organisasi yang ada di masyarakat, ataupun yang ada di kampus. FISIP UI juga tidak lupa berpartisipasi dalam hal ini; beberapa program kerja (proker) BEM diarahkan untuk “membangkitkan semangat” berpolitik mahasiswa. Gerakan-gerakan ini, diharapkan, dapat membuat anak muda “sadar” mengenai posisi politik yang dipegang oleh anak muda, mengingat jumlah mereka cukup banyak. Terlebih lagi, mengingat anak mudalah yang akan “hidup” di masa depan nanti, yang berarti mereka yang akan merasakan dampak dari kebijakan yang diambil oleh pemimpin terpilih, diharapkan mereka menggunakan suara mereka dengan bijak agar arah negara ke depannya menjadi lebih baik.

Namun, gerakan-gerakan ini terus muncul tiap tahun politik bergulir. Artinya ialah, kesadaran atau semangat yang diharapkan belum mencapai apa yang diharapkan. “Ke-tidak-paham-an” atas “berpolitik” ini sepertinya masih menjadi “penyakit” bagi generasi muda di Indonesia. Ada beberapa alasan tentunya, dan sudah banyak yang meneliti soal ini — saya tidak akan masuk ke persoalan ini. Saya ingin masuk ke dalam satu wacana yang sangat dekat; bahwa politik itu “kotor”. Beberapa teman saya menulis soal ini, seperti Dombu, yang mencoba mengatakan bagaimana politik itu sebetulnya dekat dan anggapan politik itu “kotor” sudah mulai harus ditinggalkan, terutama oleh anak muda. Gibang juga menulis hal dengan nada yang serupa; ia menanggapi bagaimana mantan pejabat organisasi mahasiswa yang berminat untuk berpolitik secara praktis sering kali dilihat secara “sinis” — baginya, organisasi mahasiswa memang tempat untuk kaderisasi sehingga tidak ada salahnya jika mantan pejabat ini ingin melanjutkan ke “jenjang yang lebih tinggi”.

Politik, Politik Praktis, dan “Kotornya” Politik

Beberapa orang memang “malas” berbicara mengenai politik. Dalam kelompok teman saya saja, jika diskusi tiba-tiba “berbelok” menyentuh isu politik, hanya satu atau dua orang saja yang ikut lanjut berbicara — sisanya hanya mendengar karena, entah merasa tidak memiliki pengetahuan, entah merasa tidak tertarik dengan perbincangan politik. Jika ditanya mengapa, dalam pengalaman saya setidaknya, teman saya suka menjawab “ya, gapenting juga”. Sikap “bodo amat” terhadap politik inilah yang sering kali diartikan sebagai menganggap politik “kotor” — alih-alih membicarakan politik, mereka lebih suka membicarakan hal lain, entah itu hobi, entah itu pekerjaan, dan seterusnya. Siapa pun yang menjadi pemimpin, bagi mereka, tidak menjadi masalah; semua sama saja.

Tentu, mereka berkutat dalam ranah politik praktis, atau politik formal; bentuk politik yang berkenaan dengan negara atau institusi politik resmi; partai, parlemen, dsb. Ada beberapa upaya untuk menghadapi fenomena ini, salah satunya ia dengan mengenalkan konsep politik yang lebih luas; bahwa segala hal yang berkenaan dengan kepentingan dan kontestasi kepentingan adalah politik. Menyuruh seorang anak untuk makan, dan anak yang menolak suruhan ibunya, pada dasarnya, adalah politik. Alhasil, pada dasarnya, kita semua hidup dalam situasi politis setiap saat. Akibatnya, jika kehidupan “sehari-hari” kita sudah politis, sudah sepatutnya kita mempraktikkan itu juga dalam politik praktis. Singkatnya, bahwa politik bukanlah hal yang perlu “ditakutkan” atau dilihat secara “kotor”. Bahkan, itu adalah salah satu hal yang ditekankan dalam pertemuan pertama pengantar ilmu politik. Namun, meskipun politik sudah dibawa ke ranah “sehari-hari”, sepertinya masih tidak mempan. Beberapa mahasiswa FISIP pun ada yang mengaku secara “terang-terangan” bahwa mereka “tidak suka politik”. Sikap “apolitis” — atau tidak mau berpartisipasi dalam politik formal — menjadi suatu penyakit tersendiri; sudah diupayakan dengan berbagai macam cara, tetapi masih saja hidup. Tentu, mereka bukan berarti tidak terlibat dalam politik (formal) sama sekali — toh, hidup kita sehari-hari juga dibentuk oleh hasil politik formal — hanya saja, partisipasinya terbatas pada “menonton” apa yang terjadi. Mereka mungkin paham atau mau diajak berbicara mengenai Jokowi, Prabowo, Ganjar, ataupun Anies mengingat tokoh-tokoh politik praktis ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, tetapi jika ditanya atau diajak berbicara lebih jauh mengenai implikasi dari tokoh-tokoh ini, mungkin mereka akan keluar dari voice channel Discord tempat mereka mengobrol.

Di satu sisi, ada benarnya bahwa sikap “apolitis” ini merupakan semacam suatu penyakit. Toh, jika politik tidak pernah berkenaan dengan “kebenaran”, melainkan selalu suatu upaya untuk “mempersuasi” lawan bicara[1], dapat dikatakan, pada dasarnya politik memang “kotor” — banyak upaya-upaya licik yang membuat jenuh. Akibatnya, memang perlu ada upaya untuk “menyadarkan” hal ini; bahwa politik memang kotor dan, jika ingin “menang”, mau tidak mau, kita harus terjun ke “medan tempur”. Tentu, cara “mempersuasi” ini beragam; bisa “licik” maupun tidak. Namun, pada akhirnya, politik adalah upaya untuk membentuk satu kelompok sosial atas dasar kepentingan tertentu sehingga, mau tidak mau, kepentingan tersebut perlu diperjuangkan. Setidaknya, begitu cara berpikirnya.

Siapa yang Sebetulnya Takut dengan Politik?

Meskipun cara berpikir di atas ada benarnya, ia tidak menggambarkan politik yang sepenuhnya. Permasalahannya, bagi saya setidaknya, adalah politik, pada akhirnya, untuk kebaikan satu kelompok tertentu. Saya tidak bermaksud untuk menjadi Machiavelli yang mengutamakan “kebencian” dibandingkan “cinta” dalam berpolitik.[2] Justru ada kemiripan antara Machiavelli dengan cara pikir yang saya sebut di atas: kelompok sosial adalah hal yang “satu”; hanya saja Machiavelli terang-terangan dengan metode “brutalnya”.

Permasalahannya ada di “satu”. Apakah kita, sebagai bagian dari “Masyarakat Indonesia”, adalah satu? Apakah ada yang namanya “Masyarakat Indonesia”? Atau, ternyata selama ini, yang ada hanyalah “Negara Indonesia”? Pembedaan ini menurut saya penting untuk didiskusikan. Masyarakat tidaklah stabil; ia selalu terpecah-pecah; dibangun oleh sub-sub-kelompok yang berbeda-beda yang “dikunci” oleh satu penguasa.[3] Penguasa ini, tetapi, tidak sama dengan negara. Tidak semua masyarakat memiliki penguasa dengan suatu otoritas; suatu koersi — justru, beberapa masyarakat mencegah sebisa mungkin agar penguasa tidak memiliki otoritas dengan memberi “hak” seminimum mungkin.[4] Negara, di lain sisi, merupakan unit politik yang lahir dari kondisi sosio-politik yang spesifik[5] dan — memang tergantung dari bagaimana kita memandang negara — merupakan unit politik yang memiliki legitimasi untuk melakukan tindak “kekerasan”.[6] Dengan kata lain, negara adalah unit politik yang bergantung pada kelas sosial tertentu dan memiliki otoritas yang perlu dipatuhi. Negara, demikian, tidak sama dengan masyarakat.

Jika masyarakat tidak pernah stabil, untuk menjadikannya stabil, ia perlu direproduksi, tetapi secara tidak sempurna.[7] Alhasil, kesan stabil masyarakat sejatinya adalah imajinasi yang lahir dari praktik manusia yang “berantakan” — yang bahkan imajinasi tersebut juga selalu dikontestasikan.[8] Kehidupan sehari-hari tidak pernah stabil, tetapi “konsepsi” kita mengenai kehidupan sehari-hari-lah yang membuatnya stabil.[9] Jika kehidupan bermasyarakat sejatinya seperti demikian, masuk akal jika seseorang “mundur” dari kehidupan masyarakat yang ia tidak setujui. Namun, apa hubungannya dengan negara? Jika kehidupan bermasyarakat mensyaratkan praktik yang rumit dan selalu bergeser-geser (tidak pernah “satu”),[10] sedangkan kehidupan negara mensyaratkan “kepatuhan” terhadap otoritas tertentu, apakah “ke-apolitis-an” ini dapat dikatakan “ketakutan” terhadap politik?

Atau, mudahnya, apakah kita sebetulnya “menghindari politik” atau “menghindari negara”? Jika kehidupan bermasyarakat tidak perlu ada kepatuhan, sedangkan kehidupan bernegara ada, saya rasa pertanyaannya bukanlah “mengapa anak muda tidak suka politik”, tetapi mengapa anak muda tidak suka pada negara. Jika kita berangkat dari perbedaan antara masyarakat dan negara, saya pikir kita bukan tidak suka pada politik, justru “enggannya” kita untuk “ikut pemilu” adalah bentuk politik yang mencoba untuk menolak negara.[11] Alhasil, anak-anak muda, meskipun apolitis, mereka tidak “anti-politik” — menjadi anti-politik pun mustahil karena kita selalu hidup dalam situasi sosial yang tidak pasti sehingga mensyaratkan upaya politik. Dengan kata lain, dan jika kita kembali ke ide mengenai perbedaan antara masyarakat dan negara, berpolitik tidak harus untuk “satu kelompok” dalam artian menjaga harmoni kelompok tersebut, tetapi juga “mendisrupsi kelompok” yang dalam kasus ini adalah negara.[12]

Arah Diskusi yang Baru

Apakah kita membutuhkan suatu negara adalah pertanyaan sulit yang saya sendiri juga tidak bisa menjawab. Jawabannya saya serahkan kepada pembaca dengan posisi politiknya masing-masing. Akan tetapi, yang ingin saya tekankan di sini ialah kita membutuhkan arah diskusi baru ketika membicarakan mengenai generasi yang “tidak melek” politik ini. Alih-alih menuduh mereka tidak “paham” politik, atau “takut” kepada politik, dan menyarankan kepada mereka untuk “tidak takut pada politik,” bagaimana jika kita mengambil rasa “takut” ini secara serius? Bagaimana jika kita benar-benar memahami apa yang sebetulnya “tidak disukai” dengan politik oleh anak-anak muda?

Tentu, aspek minim pengalaman memiliki peran, saya tidak menolak hal itu. Namun, apakah pengetahuan dan kemampuan mereka “seminim” itu? Saya rasa tidak juga. Meskipun obrolan politik dengan orang-orang ini sering kali terbatas pada suatu “bercandaan”, “candaan” tersebut, bagi saya, menunjukkan bahwa mereka juga paham dengan apa yang terjadi dalam hal politik — toh, untuk membuat suatu candaan juga membutuhkan suatu pengetahuan. Apa yang saya katakan di sini bisa saja tidak tepat; bisa saja mereka masih mendukung adanya negara, bisa juga tidak. Namun, saya pikir bukan itu poin pentingnya. Poin pentingnya, saya kira, adalah kita perlu berhenti berpikir bahwa anak muda tidak berpolitik, bahkan dalam ranah formal sekalipun. Proses “menarik diri”, alih-alih dilihat sebagai bentuk ke-tidak-partisipasi-an, akan lebih produktif jika itu dilihat sebagai bentuk praktik politik mereka. Meskipun mereka tidak datang ke bilik suara, absensi mereka justru adalah tindakan politik yang mereka ambil. Mereka tidak takut dengan politik formal; justru mereka mempraktikkannya dengan senang hati.[13] Dengan demikian, jika pun ingin melakukan social engineering, mungkin selama ini kita mulai dari dasar yang kurang tepat; selama ini mengasumsikan mereka tidak memiliki pengetahuan dan “pasrah” dengan keadaan. Mungkin, kita bisa mulai dari dasar bahwa mereka sudah memiliki kesadaran politik dan “kepasrahan” itu adalah bentuk politik mereka.

Pertanyaannya, bagaimana memanfaatkan kesadaran politik ini?

Referensi

[1] H. Arendt, 2022 [1967], “Truth and Politics,” dalam On Lying and Politics, Library of America.

[2] N. Machiavelli, 2019 [1532], Il Princpe: Buku Pedoman Para Diktator, Narasi.

[3] E. R. Wolf, 1982, Europe and The People Without History, University of California Press.

[4] P. Clastres, 1990 [1974], Society Against the State, Princeton University Press.

[5] Ibid.

[6] E. Malatesta, 1920, “An Anarchist Programme,” The Anarchist Library: An Anarchist Programme | The Anarchist Library

[7] F. Barth, 1967, “On the Study of Social Change,” American Anthropologist, Vol. 69 №6.

[8] D. Graeber, 2001, Towards Anthropological Theory of Value, Palgrave Macmillan.

[9] H. Lefebvre, 1987, “The Everyday and Everydayness,” Yale French Studies, №73.

[10] B. Latour, 2005, Reassembling the Social: Introduction to Actor-Network Theory, Oxford.

[11] D. Graeber, 2004, Fragments of Anarchist Anthropology, Prickly Paradigm Press.

[12] N. Postero & E. Elinoff, 2019, “Introduction: A Return to Politics,” Anthropological Theory, Vol. 19 №1.

[13] M. Archer & D. Souleles, 2021, “Introduction: Ethnographies of Power and the Powerful,” Critique of Anthropology, Vol. 41 №3.

--

--

Althaf Yusfid

“One of the advantages of anthropology as a scholarly enterprise is that no one, including its practitioners, quite knows exactly what it is.” — Clifford Geertz